Berita Nasional Terpercaya

Peran Masyarakat Adat Mewujudkan Kedaulatan Pangan Di Tengah Covid-19

0

JAKARTA,BERNAS.ID – Pandemi Covid-19 membuat dampak meluas di masyarakat tak hanya diperkotaan tapi di pelosok wilayah adat.

Berbagai persoalan menerpa masyarkat adat, terutama penyediaan pangan selama pandemi tersebut.

Nah, para pakar hukum adat mengkaji bagaimana peran masyarakat adat dalam mewujudkan kedaulatan serta memenuhi pangan di tengah pandemi Covid–19.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Jayaputa, Hendrik Herman J Krisifu,  SH,  MA dalam paparannya menjelaskan, adanya pergeseran nilai makanan tradisi sagu atau papeda dalam kehidupan Masyarakat Adat Sentani.

Hal itu karena faktor eksternal dimana sagu atau papeda digeser oleh beras atau  nasi. Lebih dipertegas lagi dengan adanya program RASKIN dan kegiatan bagi-bagi sembako saat Pileg dan Pilkada.

“Masyarakat juga sudah mengenal makanan alternatif atau siap saji, seperti indomie, supermi, roti, dan lainnya. Pengaruh mekanisasi menokok sagu diganti dengan mesin parut,” terangnya.

Tak hanya itu, lahan tumbuhan sagu semakin berkurang dan terancam habis, karena

lahannya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pemukiman, perkantoran dan pusat perbelanjaan.

Selain faktor eksternal adanya faktor internal. Dimana banyak generasi muda tidak lagi mengetahui nilai-nilai sagu dalam kehidupan masyarakat adat, karena pendidikan, dan lainnya.

“Karena kebutuhan ekonomi, masyarakat pemilik lahan menjual lahan sagu,” jelasnya.

Dari uraian itu Herman menerangkan bahwa Papua (Sentani) merupakan daerah yang memiliki potensi sagu melimpah, dan perlu dikelola agar dimanfaatkan untuk keperluan pengembangan dan kedaulatan pangan lokal, dalam menghadapi kemungkinan terjadinya krisis pangan akibat Covid-19.

“Dalam konteks kedaulatan pangan lokal Sagu sebagai

makanan pokok masih diandalkan karena ketersediaan dan kecukupannya untuk masyarakat adat dan penduduk di Provinsi Papua.

Pengelolaan sagu juga disampaikan Ketua Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Usahid, Prof Giyatmi. Ia memaparkan peran sagu sebagai pangan pengganti.

Menurutnya, produktivitas tinggi tumbuhan sagu bisa menghasilkan pati sekitar 200 kilogram per batang empat kali lebih banyak daripada yang dihasilkan beras.

” Sagu bisa diolah dan menjadi utama berbagai jenis olahan makanan,” jelasnya.

Tak hanya sagu, pengelolaan singkong juga dapat menjadi bahan pangan di tengah persoalan pandemi.

“Dikonsumsi dengan proses minimal dikonsumsi melalui proses lanjutan,” paparnya.

Sementara itu, Applied Social System Institute Of Asia, Nagayo University, Marlisa Ayu Trisia mengapresiasi sagu sebagai tanaman lokal dan identitas budaya, untuk adaptasi perubahan iklim masih merupakan pendekatan asing bagi para pemangku kepentingan lokal. Tidak penanaman sagu kembali.

“Ekspansi besar-besaran terhadap tanaman komersil lainnya.Masih kurangnya dukungan dari pemerintah,” ujar Marlisa.

Marlisa meneranhkan manfaat sagu, yang merupakan spesies asli di Indonesia (Ministry of Environment, 2013).Hutan sagu dapat bertindak sebagai penyerap karbon untuk mitigasi perubahan iklim (Stanton, 1991; Osozawa, 1998; Tacio, 2010).

“Jumlah CO yang dapat diserap oleh tanaman sagu sebesar

240 ton CO/ha/tahun (Hariyanto, 2011),” terangnya.

Kemampuan adaptasi ke berbagai lingkungan yang marginal seperti rawa, tanah gambut, tanah masam dan air payau (Ehara, 2012).

Sagu dapat ditanam di zona penyangga dan area banjir sebagai metode greenbelt untuk merehabilitasi lahan terdegradasi (Orwaet ol, 2009)

Kemampuan untuk menahan angin topan. Kerusakan pohon sagu hanya 12% ketika Topan Haiyan terjadi di Filipina (Nishiyama et al, 2014)

Makanan anti alergi karena bebas gluten dan kasein (Elder et al, 2006), berpotensi sebagai pati resisten (RS) untuk mencegah kanker usus besar (Polnaya, 2013).

“Dapat sebagai sumber karbohidrat bagi orang yang menderita diabetes mellitus (Kresnawan and Darmarini, 2004),” pungkas Mar.

Diskusi virtual ditutup oleh Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.

Politisi NasDem itu mendukung pengelolaan lahan adat untuk memenuhi pangan, terutama di tengah Covid-19.

“Perlu memetakan potensi di wilayah masing-masing bidang pertanian. Optimalkan lahannya,” terang Limpo.

Syahrul mematikan, stok kebutuhan pangan hingga Juni 2020 ada. Ia, juga menegaskan meminimalisir impor dengan mengutamakan stok yang ada.

“Kalaupun harus impor, Indonesia akan mengekspor dengan jumlah yang sama,” pungkas Limpo.(fir)

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.