Berita Nasional Terpercaya

Kembang Jagung Terakhir dari Sawah Mbah Soma

0

Bernas.id – Lelaki tua itu tidak perlu lagi sibuk mengasah arit, cangkul, dan ani-ani. Tidak ada lagi ubarampe yang harus disiapkan sebagai persembahan kepada Sanghyang Sri. Sawah-sawah telah luluh lantak oleh ribuan kubik urukan tanah. Kini, di depan gedung-gedung pabrik yang berdiri sombong di tanah leluhurnya, tatapan sayu mata lelaki tua itu tidak lagi memiliki arah?ia tidak punya apa-apa lagi selain hati berlumur rasa nyeri.

Setahun lalu, lelaki tua itu rebah di tepi sawahnya setelah mati-matian mempertahankan sepetak lahan yang belum terjamah proyek serakah. Ia terlibat baku hantam dengan orang-orang yang berpakaian safari?sebab melawan perintah negara?kata lurah yang berkali-kali mendatangi rumahnya sebelum kejadian. Lelaki tua itu pingsan dengan pelipis penuh luka. Ketika terjaga, ia melihat jempol tangan kanannya telah berlumuran cairan berwarna biru yang kemudian dipaksa dicapkan pada selembar kertas yang ia tidak tahu apa isinya.

***

Gubuk bambu beratap jerami yang berdiri di tengah sawah itu sepi. Kesunyian turut mengiringi gugurnya kembang jagung akibat terpaan angin kemarau yang sejak bulan Juli berembus kencang dari arah tenggara. Dari gubuk kecil itu, dulu Mbah Soma bisa menatap keindahan Gunung Pandan di sebelah barat desa. Bahkan jika beruntung, ketika cuaca tidak mendung, megahnya puncak Gunung Anjasmara, Welirang dan Arjuno nun jauh di sebelah timur ikut memanjakan mata lelaki tua itu.

Kini, gunung-gunung yang semasa kecil Mbah Soma dianggap sebagai tempat tinggal para Dewa itu telah tertutup tiang pancang bangunan gedung dan arak-arakan kendaraan berat. Kepulan debu dari dentuman paku bumi yang menghajar perut tanah ikut menghalangi pandangan lelaki tua itu ketika sedang beristirahat di gubuk sawahnya.

Siang itu Mbah Soma didatangi tiga lelaki berpakaian safari. Satu dari mereka,  lelaki yang bertubuh ceking dikenal Mbah Soma sebagai lurah di desanya. Sedangkan dua lelaki lain, salah satunya berkacamata hitam, mengaku sebagai orang penting dari kecamatan dan kabupaten.

?Zaman sudah berganti, tenagamu juga sudah terlalu renta untuk bertani, lepaskan saja sawah ini,? ucap laki-laki berkacamata hitam sembari menyulut sebatang rokok di bibirnya.

?Aku tidak bisa serta merta mengiyakannya. Aku harus membicarakan semua ini,? sahut Mbah Soma.

?Membicarakan dengan siapa? Bukankah kau tak lagi memiliki anak??

?Dengan keponakan-keponakanku!?

?Keponakanmu siapa, Mbah?? tanya laki-laki berkacamata hitam, ?Dirgo ini?? laki-laki itu menudingkan jari ke arah anak muda yang duduk di sebelah Mbah Soma dengan muka yang mendadak memerah, ?Dua keponakanmu lainnya, Kastarji dan Lasmidi sudah menyetujui, bahkan mereka tidak sabar lagi untuk segera menerima kompensasi dari pembebesan lahan ini!?

?Bersabarlah,? Mbah Soma mengibaskan tangan, menghalau kepulan asap rokok yang seperti sengaja diembuskan laki-laki berkacamata hitam ke mukanya, ?Aku butuh waktu untuk mengambil keputusan.?

?Aku tak ingin menunda-nunda lagi. Kuberi waktu seminggu. Tinggal sawahmu ini saja yang belum juga tergusur. Uang pembebasan lahan sudah disiapkan. Jangan mempersulit lagi.? Laki-laki berkacamata hitam mendesah panjang, lalu kembali menghisap batang rokok di bibirnya dalam-dalam.

Mbah Soma hanya diam, tidak menyahut meski hanya dengan satu kata. Tiga lelaki berpakaian safari pergi dengan meninggalkan sebuah ancaman.

Sebelum kejadian siang itu, sebenarnya Mbah Soma sudah berfirasat bahwa suatu hari sawahnya kembali akan diburu para cukong tanah. Proyek pembangunan pabrik di desanya sedang dikebut. Hamparan sawah beratus-ratus hektar dilenyapkan truk-truk pengangkut tanah uruk. Hanya menyisakan sepetak sawah peninggalan moyang Mbah Soma selama turun temurun. Desa itu memang telah dicanangkan sebagai kawasan industri dengan menggusur apa saja yang ada di sana.

?Apa yang harus kita lakukan, De?? tanya Dirgo, keponakan Mbah Soma yang bersebarangan pikiran dengan dua keponakan lainnya.

?Entahlah.? Mbah Soma menggumam sembari mengusap dahinya yang berkerut-kerut tersebab kulitnya sudah dipenuhi keriput. Ia meloncat turun dari lincak gubuk lalu berjalan ke arah sungai kecil di tepi sawahnya. Tangan lelaki renta itu berusaha menggapai air, sementara pikirannya berkelana ke masa kanak-kanak. Masa ketika dulu dari sungai itu ia kerap ditangkapkan seekor ikan sepat oleh mendiang bapaknya. Tangan Mbah Soma terus menggapai-gapai permukaan sungai, namun tak juga mampu menyentuhnya. Dirgo yang menyusul, menepuk pundak Mbah Soma untuk menyadarkan.

?Aliran sungai ini telah terbuntu oleh urukan tanah bangunan pabrik itu,? ucap Dirgo, lalu menunjuk ke arah hulu sungai yang tertutup gundukan tanah uruk berkubik-kubik.

?Mungkin Kala Gumarang telah kembali,? gumam Mbah Soma.

?Apakah legenda itu memang dahulu ada di kehidupan nyata??

?Aku mempercayainya.?

?Bukankah itu hanya dongeng buyut bapakku dan buyutmu, De??

?Entahlah,? jawab Mbah Soma, ?Tapi aku merasakan sesuatu…? 

?Apa itu??

?Tawa lelaki berkacamata hitam itu memiliki muatan amarah dan dendam. Dendam untuk merusak dan menguasai semua sawah di desa ini,? jelas Mbah Soma. Dirgo merenung. Dalam hati ia membenarkan pendapat itu, sebab ketiga lelaki yang tadi mendatangi mereka memang para cukong tanah.

Di tepi sungai kecil yang telah mengering itu, Mbah Soma kembali termenung. Tarik ulur penggusuran sawah antara mereka dengan tiga lelaki berpakaian safari selama berkali-kali akhirnya membawa kenangan Mbah Soma kembali ke masa kanak-kanaknya. Kenangan tentang dongeng Sanghyang Sri yang dulu begitu lekat sekali di desanya dan desa-desa sekitar. Dongeng tentang Dewi Padi?Dewi Kesuburan Tanaman yang turun dari Kahayangan sebab dikejar-kejar Kala Gumarang, anak Batara Kala, atas perintah Batara Guru?kemudian menjelma menjadi benih padi di muka bumi. Menurut cerita simbahnya, di lembah sebuah gunung yang kini menjadi desanya, Sanghyang Sri berpijak, sebelum berkelana menuju Mekukuhan. Konon, selama berada di bumi, Kala Gumarang menjelma berbagai sosok hama perusak tanaman yang diyakini berasal dari tubuh Sanghyang Sri.

Mbah Soma meyakini, orang-orang yang sedang berambisi menguasai lahan-lahan sawah di desanya untuk proyek pembangunan pabrik adalah manusia-manusia yang jiwanya telah dirasuki Kala Gumarang. Demi melenyapkan tanah tempat Sanghyang Sri bertumbuh-kembang memberi limpahan pangan kepada para petani yang memujanya.

*** 

Gubuk di tengah sawah itu mendadak ramai. Mbah Soma didudukkan dengan paksa oleh seorang lelaki berkacamata hitam. Lelaki itu tidak lagi bertiga. Di belakangnya berdiri enam lelaki bertubuh gempal dengan pandangan semua tertuju kepada Mbah Soma. Pandangan penuh amarah dan kebencian.

?Proyek pembangunan pabrik itu adalah program pemerintah. Proyek negara. Jika kau terus mempersulit pembebasan sawahmu, itu sama artinya dengan melawan negara.?

?Kami adalah rakyat kecil yang berhak dilindungi negara. Jangan mengatasnamakan pemerintah, apalagi mencatut nama negara untuk memuaskan ambisi kalian. Aku tahu seperti apa peringai para cukong tanah seperti kalian!?

Lelaki berkacamata hitam tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Mbah Soma. ?Sejak kapan kau pintar mengucapkan kata-kata itu? Sudahlah, lepaskan saja sawahmu,? dengan tenang ia merogoh sesuatu dari tas yang tersampir di pundaknya. ?Lihatlah, uang sebanyak ini bisa menghidupimu di usia tua, sampai ajalmu tiba, Mbah!?

?Kauberi sepuluh kali lipat dari uang itu pun, aku tak akan melepasnya,? tolak Mbah Soma. ?Desa ini tetap membutuhkan sepetak sawah untuk mempertahankan kearifannya. Sebagai pengingat bahwa dahulu di sini pernah terbentang luas gugusan tanah surga para leluhurku.?

?Kutawarkan uang ini untuk terakhir kali.?

?Maafkan aku. Mungkin kalian akan bisa memuaskan ambisi itu jika nyawaku sudah lepas.?

?Jika itu keputusanmu, jangan salahkan kalau negara menghukummu,? ucap lelaki berkacamata hitam dengan urat leher menegang. Giginya mengeluarkan bunyi gemeletuk menahan amarah. ?Besok siang aku akan kembali ke gubuk ini.?

Mata lelaki berkacama hitam itu mendelik. Mbah Soma membalas dengan tatapan yang sama, meski bibirnya kemudian gemetar ketika mengucapkan doa kepada Sang Pencipta. 

***

Matahari tepat berada di atas ubun-ubun, ketika selepas Zuhur itu, tiga eskavator diikuti sebuah mobil Pajero putih berhenti di pinggir jalan, tepat di tepi hamparan sawah yang selama berbulan-bulan tak kunjung berhasil dibebaskan komplotan pengembang. Mbah Soma tergopoh-gopoh menepi dari tengah sawah. Lelaki renta itu menghampiri eskavator-eskavator yang meraung-raung memamerkan cakar raksasa. Enam lelaki berbadan gempal dengan sigap mencegat mereka. Salah satu dari lelaki menghajar Mbah Soma tiada ampun, manakala lelaki tua itu mengacung-acungkan arit untuk mengusir mereka.

Penuh lumuran darah di kedua pelipis, Mbah Soma rebah di tepi sawah dengan perasaan tercabik-cabik. Napas lelaki tua itu terengah-engah, semakin lama semakin lemah, berbanding lurus dengan indera penglihatan dan pendengaran yang ikut pula memudar. Namun sebelum penglihatan itu sepenuhnya pudar, samar-samar ia masih bisa melihat sepucuk kembang jagung di sawahnya sedang gugur oleh tiupan angin bulan Juli. Kembang itu seperti menari-nari, melayang-layang menghampiri Mbah Soma, lalu jatuh tepat di pelipisnya yang berdarah. Mbah Soma meraihnya, lalu mencium penuh cinta. Kembang jagung terakhir dari sawahnya. (*Heru Sang Amurwabumi)

Leave A Reply

Your email address will not be published.