Berita Nasional Terpercaya

Analisa Pakar Dalam Redesain Food Estate Mengatasi Krisis Pangan Dan Resesi

0

JAKARTA,BERNAS.ID – Pandemi Covid-19 telah berdampak besar pada berbagai pilar kehidupan di hampir seluruh dunia. Selain aspek kesehatan,  masalah besar yang akan dihadapi akibat Covid-19 adalaha resesi ekonomi dan kekurangan pangan.  IMF bahkan telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya dalam waktu dua bulan. 

Sebagai contoh pada bulan April 2020 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5 %, tapi pada bulan Juni 2020 IMF memproyeksikan -0,3 %.  Skema Pemulihan Ekonomi Nasional rentan terhadap inflasi termasuk di komoditas pangan. FAO pada bulan April 2020 sudah memperingatkan akan terjadi kekurangan di berbagai belahan dunia. 

Presiden Jokowi merespon hal itu dengan memerintahkan menteri-menterinya untuk mengelola pasokan pangan agar jangan sampai kekurangan pangan.  

Sementara itu, lima pakar secara terpisah sepakat bahwa ketersediaan dan keterjangkauan pangan, akan menjadi faktor kunci sukses ketahanan nasional di masa dan pasca pandemic Covid-19.  Dr Marcelino Pandin pemerhati ekonomi lokal mengingatkan kita, bahwa Resesi dan ketahanan pangan berkelindan, karena dengan adanya resesi akan banyak PHK, perekonomian yang akan terpuruk, daya beli masayarakat menurun, harga-harga akan meningkat. Apabila pasokan kurang dan daya beli masayarakat menurun, maka akan mempengaruhi stabilitas sosial ekonomi dan politik.

Adanya pandemic Covid-19 juga berpengaruh terhadap produksi pangan dalam negeri. Di sisi lain negara-negara yang selaman ini sumber impor pangan Indonesia, khususnya beras juga mengalamai hal yang sama, sehingga negara-negara tersebut tentunya akan mementingkan kebutuhan pangan dalam negeri mereka sendiri. 

Di sisi lain impor pangan juga akan menguras devisa.  Pada lima tahun terakhir untuk mengimpor beras dan gandum saja, telah merogoh devisa negara sebesar antara 1,5 sampai 2,8 milyar dollar. Untuk pemenuhan pasokan pangan dalam rangka ketahanan pangan pemerintah merencanakan membanguna food estate di Kalimantan Tengah yang terdiri atas lahan  intensifikasi seluas 85.456 ha dan lahan ekstensifikasi seluas 79.142 ha, termasuk dari lahan gambut. 

Dr Sugeng Budiraharsono seorang pakar di bidang pengembangan wilayah perdesaan mencatat bahwa ide food estate bukan hal baru, padahal tahun 1970- an PT. Patra Tani telah melakukan hal tersebut di Sumatera Selatan. Tahun 1995 juga telah dilakukan proyek Pengembangan Lahan Gambut satu juta hektar. 

Tahun 2010 juga direncanakan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)  seluas 1,2 juta hektar. Namun ketiga proyek pengembangan food estate tersebut saat ini  nyaris tak terdengar.

Barangkali sebelum melaksanakan proyek food estate lagi, perlu memahami pembelajaran yang baik dan jelek dari ketiga proyek food estate tersebut.  

Dr Sugeng Budiharsono selanjutnya menyarakan, bahwa ada beberapa hal sebagai penentu keberhasilan food estate, apalagi food estate modern, antara lain adalah hardware, orgware, brainware dan software. Hardware berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur dan teknologi budiaya, pengolahan, sampaio rekayasa kesesuaian lahan dan iklim mikro. 

Orgware berkaitan dengan rekayasa sosial buaya  dan kelembagaan masyaraka yang bermitra dengan dunia usha dengan dukungan dai lembaga pemerintah.  Software berkaitan dengan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, pendidikan dan pelatihan dan pengetahuan masyarakat. Sedangkan brainware berkaitan dengan sumber daya manusia untuk menghasilkan kreativitas dan inovasi.

Kempat hal ini saling terkait dan akan meningkatkan daya saing dari produk-produk yang dihasilkan oleh food estate tersebut. Namun dari keempat hal tersebut Drs Mirwanto Manuwiyoto MSi pakar yang malang melintang di dunia pengembangan organisasi masyarakat perdesaan mengingatkan bahwa hal tersebut memerlukan waktu lama dan ketekunan adalah untuk mempersiapkan orgware dan brainware.

Padahal masalah kekurangan pangan sudah menghadang di depan mata. Demikian pula Ir Oon Kurniaputra MA dan Ir Arsyad Nurdin MSi ahli tanah dan transmigrasi daerah 3T (terluar terdepan dan tertinggal) menganalisis, bahwa Pemetaan kabupaten/kota yang rentan pangan yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian pertanian, bahkan daerah rawan pangan (kategori 1, 2 dan 3) sebagian besar bukan berada di Kalimantan Tengah, namun di Papua dan Papua Barat.  

Jarak yang jauh dari kedua daerah tersebut tentu akan berpengaruh terhadap rantai pasoknya.  Apalagi barang-barang pertanian memiliki sifat mudah rusak, volumeous dan bulky  dan ini akan membawa konsekwensi terhadap tingginya biaya transportasi.

Kelima pakar tersebut sepakat  bahwa dalam menghadapi masalah kekurangan pangan ada strategi jangka pendek dan jangka panjang.  Strategi jangka pendek adalah, rumah tangga agar menyimpan bahan pangan untuk jangka waktu dua tiga bulan ke depan, atau bagi masyarakat yang mengkonsumsi beras, sampai panen musim gadum.

Hal ini sesuai dengan paradigma baru bahwa ketahanan pangan titik beratnya bukan kepada ketahanan pangan nasional tapi lebih kepada ketahanan pangan rumah tangga; juga memanfaatkan instrumen Dana Desa, untuk membeli gabah yang masih ada pada akhir musim panen ini dan panen musim gadu pada beberapa bulan mendatang, merevitalisasi bangunan yang tidak digunakan untuk lumbung desa ataupun lumbung komunitas.

Pengelolaan mulai dari pembeliaan gabah, pengolahan menjadi beras, sampai pemasaran berasnya diserahkan kepada BUMDES. Dan selanjutnya pemanfaatan lahan pekarangan untuk penyediaan pangan.

Strategi jangka panjang dalam rangka ketahanan pangan adalah pengembangan food estate, pada lahan sawah yang sudah ada  yang berbasis klaster dan inovasi untuk dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk dan wilayah; Pengembangan food estate ini tentunya diutamakan pada daerah-daerah yang rawan pangan dan daerah sekitarnya. Dan agar dapat mengurangi konsumsi beras, maka masyarakat didorong untuk memakan sayuran. Selanjutnya, agar mengurangi impor gandum maka pemerintah agar memberikan afirmasi kebijakan untuk penggunaan MOCAF (Modified Cassava Flour), yang berbasis bahan baku singkong, sebagai campuran terigu; dan juga meningkatkan daya coping mechanism masyarakat dalam ketahanan pangan.

Disamping itu gagasan tentang Metropolitan Food Cluster juga patut untuk dikembangkan khususnya mengantisipasi krisis pangan di perkotaan yang memiliki keunggulan pada rantai pasok yang efisien dan produktif. (fir)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.