Berita Nasional Terpercaya

Mata Luka Jugun Ianfu

0

Bernas.id – Dalam sebuah kecamuk badai kebimbangan, perempuan itu mematung di depan gerbang gedung interniran yang lebih pantas disebut kompleks pelacuran. Ia berhitung satu demi satu butir-butir angka menuju tiga belas, tanggal di mana ia dicampakkan serupa sepah tebu. Pada hitungan terakhir, ia yakin akan menjumpai pilihan tempat untuk pulang.

Siapa tak kenal Partiyah, perempuan muda yang menjadi buah bibir pemuda sedesa Kedung Pingit. Pemilik rambut panjang yang senantiasa digelung itu bukan saja menawan, namun juga berperingai ramah kepada siapa saja yang dijumpai. Senyumnya tak pernah lepas dari bibir. Maka lengkaplah, segala yang diidamkan setiap lelaki, ada pada dirinya.

Partiyah berusia dua puluh tahun ketika orang-orang bermata sipit yang mengaku sebagai saudara tua bangsa Indonesia dan Pelindung Asia[1] mendarat di tanah Jawa. Ibarat bunga, Partiyah sedang merekah-merekahnya kala itu.

Partiyah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Mbakyunya, Partiyem telah dinikahi Kang Sastro, lelaki Kedung Pingit yang kerap blusukan ke hutan-hutan bergabung dengan gerilyawan Republik. Ketika orang-orang bertopi busho pertama kali datang ke desa mereka, Yem?begitu bapaknya memanggil Partiyem?baru saja melahirkan anak laki-laki: Soma. Partiyah juga memiliki adik perempuan yang masih berusia tiga belas tahun, Moeryati. Keduanya sama-sama berparas jelita. Bedanya, Moeryati masih bau kencur, sedangkan Partiyah seperti kelapa yang sudah jauh lebih nyengkir gading.[2]

Ketika orang-orang bermata sipit menginjakkan kaki ke Kedung Pingit, awalnya semua mengira mereka adalah benar-benar saudara tua bangsa-bangsa Asia?seperti gembar-gembor Nippon dalam politik 3A. Saudara yang akan membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajahan bangsa-bangsa Rambut Jagung.[3]

Tetapi anggapan itu berbalik seratus delapan puluh derajat, ketika suatu tengah hari di Kedung Pingit, terjadi aksi pengangkutan paksa perempuan-perempuan belia yang menurut pengakuan orang-orang bermata sipit akan dipekerjakan di kota-kota yang mereka diduduki.

Kastohardjo baru saja pulang dari sawah siang itu, ketika tiba-tiba ia ditodong dengan sebatang besi dingin yang menempel di lehernya.

?Di mana anak-anakmu??

Seorang laki-laki berkepala plontos dengan kelopak mata nyaris tidak bisa terbuka sebab sangat sipit, membentak-bentak. Terdengar beberapa kali letusan dan suara jeritan perempuan-perempuan tetangga Kastohardjo. Gerombolan yang lain rupanya juga menjarah rumah-rumah penduduk Kedung Pingit.

?Ampun, Ndoro.[4] Kulo mboten gadah yoga putri,?[5] ratap Prawirodirdjo.

?Jangan bohong. Banyak yang mengatakan bahwa kau memiliki dua anak perempuan yang belum menikah!? Kembali lelaki berkepala plontos membentak. ?Serahkan pada kami!?

?Tolong ampuni kami, Ndoro,? timpal Roeminah, istri Kastohardjo, ketika melihat beberapa orang bermata sipit menerobos masuk ke dalam rumah.

?Tolongggggg!? Terdengar jeritan dari dalam kamar.

Moeryati dan Partiyah digelendeng paksa oleh empat lelaki sipit.

?Ampun, Ndoro. Jangan bawa kami!? Partiyah meratap dengan tubuh gemetar.

?Kumohon bawa saja kami. Jangan ambil anak-anakku, Ndoro,? Kastohardjo bersimpuh sembari menangis di hadapan lelaki mata sipit berkepala plontos yang sepertinya adalah pemimpian mereka.

Moncong dari besi mengkilap yang sejak tadi ditempelkan ke leher Prawirodirdjo, kini mendarat di dahi lelaki Kedung Pingit itu. Kastohardjo jatuh tersungkur di hadapan Roeminah. Mereka tak bisa menahan kepergian Partiyah dan Moeryati yang diangkut ke atas truk militer. Entah dibawa ke mana.

***

Ruangan itu tanpa jendela. Hanya memiliki angin-angin berukuran tiga puluh sentimeter persegi. Tepat di sebelahnya, seorang lelaki berkepala plontos, berselempang samurai dan memiliki banyak tanda bintang di dada, menjadi penghuni. Beberapa pengawalnya memanggil dengan sebutan Tuan Nakamura, Kepala tangsi Dai-Nippon Teikoku Rikugun[6] di kota itu. Partiyah sengaja ditempatkan di ruangan itu agar bisa melayani segala keperluan yang dibutuhkan lelaki yang menjadi kepala tangsi?bangunan yang direbut dari Belanda. Iya, sejak diangkut paksa dari rumahnya, Partiyah menjadi babu Tuan Nakamura.

Ketika menginjakkan kaki di Desa Kedung Pingit, Tuan Nakamura berkoar-koar di rumah Mbah Lurah bahwa ia membutuhkan sokongan orang-orang pribumi, terutama kaum laki-laki untuk bergabung dengan mereka melawan bangsa Rambut Jagung. Dari mulut orang itu, terlontar janji bahwa jika mereka berhasil memenangkan Perang Asia Timur Raya, nasib Indonesia akan jauh lebih makmur.

Tetapi omongan lelaki yang setiap hari gemar memakai kemeja putih dirangkap baju lengan panjang berwarna hijau itu tak lebih dari busa di mulut saja. Petang itu, selepas Partiyah bersembahyang maghrib, Tuan Nakamura menggagahinya. Padahal Partiyah sedang menderita sakit demam. Terkoyaklah kehormatannya sebagai seorang perawan Kedung Pingit.

Kejadian petang itu rupanya menjadi awal dari penderitaan Partiyah. Hari-hari selanjutnya, Tuan Nakamura kerap memaksa Partiyah melayani kebuasan syahwatnya. Tak peduli sedang sakit, bahkan dalam keadaan sedang datang bulan.

Seperti malam ini, Partiyah tergolek lemas di atas balai-balai. Air matanya sudah habis untuk ia keluarkan lagi. Darah yang masih basah dari luka di keningnya akibat pukulan sebatang besi, sudah tak menyisakan perih. Hatinya jauh lebih perih ketika untuk kesekian kali, ia tak mampu menolak perbuatan lelaki Nippon lain, yang katanya adalah tamu Tuan Nakamura dari tangsi lain di luar kota. Partiyah sempat menolak, sebab ia merasa sudah sedemikian hina menjadi budak nafsu Tuan Nakamura, tak mau lebih terhina lagi dengan melayani tuan-tuan lainnya. Namun apalah daya, sebuah keprukan popor senjata laras panjang, mengakhiri perlawanan Partiyah.

Setelah pergumulan menyesakkan dengan tamu Tuan Nakamura, Partiyah merasa dirinya sangat menjijikkan. Kembang Desa Kedung Pingit itu telah pupus. ?Aku tak ubahnya seperti pelacur sekarang,? batinnya.

Perlahan-lahan, ia bangkit dari pembaringan. Rasa sakit mulai terasa di bagian bawah perutnya. Cepat-cepat dia membetulkan kain jarit yang masih acak-acakan membalut tubuh. Terdengar suara gemeletuk dari lubang pintu kamar.

?Duh Gusti Allah? ambil saja nyawaku sekarang. Aku sudah tak sanggup kalau harus dipaksa melayani lagi.? Dalam hati, Partiyah kembali menangis kepada Tuhannya.

Dua lelaki Nippon memasuki ruangan.

?Bawa perempuan ini keluar. Tugasnya sudah selesai di sini. Kirim saja ke tentara-tentara interniran!?[7]

Lelaki yang diperintah, nampak membungkuk-bungkuk tanda hormat. Tak lama kemudian, dua lelaki lain memasuki ruangan, menggelendeng perempuan lainnya lagi.

?Adikku!??

Partiyah menjerit. Dia baru teringat jika Moeryati juga sempat ditangkap bersamanya. Namun, mereka belum pernah bertemu lagi semenjak diturunkan dari truk, lalu digelendeng ke petak-petak ruangan yang tak ubah seperti bilik-bilik neraka.

?Yu Partiyah!!!?

Terdengar teriakan Moeryati dari depan pintu. Tubuh gadis bau kencur itu nampak menggigil gemetaran.

?Tolong… tolong… aku takut, Yu!? tangis Moeryati seketika pecah saat tubuhnya didorong masuk ke dalam ruangan. Sementara seorang lelaki menyeret Partiyah keluar.

?Asu!?[8]

Akhirnya keluar juga kata-kata kotor dari mulut Partiyah. Amarahnya seketika meledak, ketika mengetahui adik perempuannya akan dikoyak pula kehormatannya. Moeryati masih bocah ingusan. Hanya binatang yang memiliki nafsu sebiadab ini.

Ludah Partiyah melayang ke wajah lelaki yang menyeret tubuh Moeryati. Keprukan gagang besi mengkilap mengakhiri perlawanan Partiyah. Tubuh moleknya jatuh tersungkur ke lantai.

Ketika tersadar, Partiyah melihat samar-samar beberapa wanita sedang mengerumuninya. Ada yang menyeka luka di pelipis. Ada juga yang memijit-mijit kaki Partiyah.

?Sabar, Wuk.?[9]

Seorang wanita berpakaian kebaya dengan rambut digelung rapi, mencoba menguatkan hati Partiyah. Wanita itu terlihat paling dewasa diantaranya teman-temanya. Partiyah menerka-nerka, barangkali mereka adalah wanita-wanita yang senasib dengannya. Ditangkap paksa dari rumah, lalu dibawa ke tempat ini untuk dijadikan gula-gula tentara Nippon?kelak dikenal sebagai jugun ianfu, perempuan korban perbudakan seksual di masa pendudukan Jepang.

Perempuan berkebaya itulah yang kemudian setiap hari mengatur pembagian karcis kepada perempuan-perempuan lain di kamp interniran, sebuah tempat baru setalah Partiyah dibuang dari tempat tinggal Tuan Nakamura. Karcis antrean tentara-tentara Nippon untuk menikmati tubuh mereka. Terkadang karcis itu juga dijual kepada lelaki pribumi yang menjadi centeng Nippon.

***

Bulan Agustus 1945. Kabar menyerahnya Jepang kepada Amerika Serikat dan sekutunya langsung tersebar ke segala penjuru negara-negara yang menjadi jajahannya, termasuk di Indonesia. Berita penandatanganan penyerahan tanpa syarat oleh Kaisar Hirohito menjadi perbincangan orang-orang, tak ketinggalan pula perempuan-perempuan penghuni kamp interniran Nippon.

?Nippon menyerah setelah negara mereka dibom oleh Amerika.? Ucap Yu Gemi, perempuan paling dihormati para jugun ianfu.

?Apa nama kota yang dibom itu?? tanya Partiyah

?Nogosakti.?[10]

?Seperti nama keris ya. Nogosakti.?

?Bersiaplah, kalian semua. Kita akan bebas. Iblis-iblis itu akan diangkut pergi ke Pulau Galang.?

Siang hari yang panasnya sungguh menggila itu, gedung interniran menjadi sasaran pelampiasan kemarahan atas perlakuan Nippon selama tiga setengah tahun. Puluhan jugun ianfu berteriak mengumpat habis-habisan seperti kesurupan. Menunjuk-nunjuk muka tentara Nippon. Perempuan-perempuan itu berada di barisan terdepan, meludahi orang Nippon yang masih tersisa di gedung interniran, ketika orang-orang yang katanya adalah tentara Sekutu datang melucuti senjata mereka.

***

Gapura gedung interniran senyap. Partiyah menenteng tas kumal berisi pakaian, berdiri menatap gedung yang dihuninnya dua tahun terakhir ini. Siang itu, ia tidak perlu menebak siapa lelaki biadab yang akan memegang karcis untuk menikmati tubuhnya. Tidak ada lagi popor senjata laras panjang yang memaksanya membungkuk ke tiang bendera Matahari Terbit. Tangsi itu telah dikuasi Sekutu dan Partiyah merasa tak ubah serupa sepah tebu yang telah habis disesap. Kini, di gerbang neraka itu, pandangannya tak lagi memiliki arah?ia tidak memiliki apa-apa selain tubuh kotor yang berlumur mata luka.

?Ikutlah denganku, Yah.?

Sebuah tepukan perempuan berkebaya, membuyarkan Partiyah dari lamunan.

?Ah, Yu Gemi. Kau mengagetkanku saja. Kau mau ke mana, Yu??

?Pulang ke Surabaya. Ada pekerjaan yang menjanjikan bagi kita, para bekas jugun ianfu.?

Bertahun-tahun setelah bangsa Nippon meninggalkan tanah Jawa, juga setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di penghujung tahun 1949, Partiyah masih enggan pulang ke Kedung Pingit. Lebih tepatnya ia tak punya muka untuk pulang. Desas-desus bahwa Partiyah telah menjadi penghuni Dolly, [11] sudah bukan rahasia lagi.

Hingga kematiannya tiba, setahun setelah Kang Sastro, iparnya, juga Yem, kakak perempuan satu-satunya berpulang, Partiyah yang akhirnya dikebumikan di makam Desa Kedung Pingit tetap dikenal sebagai perempuan penjaja seks komersial Dolly. Namanya tak pernah dikenang sebagai perempuan korban Perang Kemerdekaan: jugun ianfu. (*Heru Sang Amurwabumi)

 

Catatan kaki:

  1. Salah satu propaganda Jepang dalam politik 3A: Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia.
  2. Memasuki usia remaja.
  3. Sebutan bagi bangsa-bangsa Eropa.
  4. Tuan.
  5. Kami tidak memiliki anak perempuan.
  6. Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dari 1867 ? 1945.
  7. Kata dasarnya internir, gedung tawanan Belanda yang kemudian dirampas Jepang dan dijadikan kamp militer.
  8. Anjing.
  9. Kependekan dari bawuk, organ intim perempuan. Panggilan kepada perempuan yang lebih muda, sebagai ungkapan kasih sayang.
  10. Maksudnya adalah Nagasaki, salah satu kota di Jepang yang dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat selain Hiroshima pada tahun 1945.
  11. Nama kompleks pelacuran di Surabaya yang menjadi kawasan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Sudah ada sejak zaman pendudukan Belanda. Awalnya didirikan seorang perempuan Belanda bernama Dolly van Der Mart.
Leave A Reply

Your email address will not be published.