Berita Nasional Terpercaya

Silsilah Dendam di Desa Kedung Pingit

0

Bernas.id – Tubuh ibuku meronta-ronta, terguncang hebat sembari memekik ngeri, sebelum setelahnya ia melengkingkan jerit histeris, sepuluh jemari tangannya menjambak-jambak rambut lalu mencengkeram perut yang perlahan-lahan membusung. Kedua matanya terbelalak seolah-olah melihat Malaikat Juru Pati[1] yang menyeramkan.

Hampir satu bulan, saban sore merambat surup[2]. Ibu mengerang kesakitan berkelonjotan, jika mulutnya sudah menyembur darah merah pekat, maka penderitaannya raib sementara. Sekujur tubuhnya pucat lunglai. Namun, ibuku tidak mati, hanya tertidur. Biasanya azan Magrib menghentikan pertunjukan ngeri itu, tetapi juga tak jarang hingga azan Isya.

Keluarga, begitu pula penduduk Desa Kedung Pingit yakin bahwa ibu terkena santet. Ikhtiar ke pengobatan alternatif, ustaz-ustaz rukiah semua belum berjodoh menjadi perantara pulihnya kondisi ibu. Sepertinya Tuhan telah menghapus senyum manis di bibir perempuan berwajah kojan itu.

Pernah suatu pagi, ibu yang genap sebulan terbaring kering dan ceking di kasur lantai, di ruang depan, yang dulunya berperawakan padat sintal serta berkulit mulus, memanggil namaku, ?Dirgo ? Dirgo.?

Aku mengangguk. Ibu ingin mengangkat tangannya, tetapi tak mampu, hanya tangan gemetaran sedikit keangkat lalu jatuh lagi. Aku coba membantu apa yang ibu inginkan. Ternyata ia bermaksud menjabat tangan bapak, lama sekali jemari tangan ibu mengeratkan genggaman di telapak tangan suaminya.

Dari matanya menderas air, bibirnya bergerak-gerak. Namun, tak jua mengeluarkan kalimat, hanya sekali napas begitu berat yang terentak. Kemudian perlahan-lahan genggaman jemarinya ambiar, layu. Ibuku menutup mata. Seisi rumah berkabung. Tangisan-tangisan pecah. Kepergian ibu adalah kabut sungkawa bagi kami.

Tentu sebagai anak sulung emosiku muncak. Kemahiranku di bidang bela diri pencak silat menambah keyakinanku sanggup dangan mudah merampungi seseorang yang menjadi penyebab ibu menderit. Begitu juga Pakde[3] Soma, sangat geram dan mengajakku melabrak orang itu. Namun, kami berdua tak sempat jauh melewati pintu sudah dihalau nenek. Aku dan kakak kandung ibuku itu hanya menahan gundukan perih di dada.

Banyak bukti yang mengarah kepada Fatoni, kalau ibu terserang teluh olehnya. Di antara bukti kebencian Fatoni terhadap keluargaku ialah karena ia memprovokatori warga Kedung Pingit untuk mendemo bapak, dengan dalih ketidakberesan hasil suara. Kata tetangga, ia juga pernah melempar sesuatu pas lewat depan rumahku.

Teluh itu kami yakini bukan Fatoni yang menggarap, tetapi ia membayar Juru Tenung. Bahkan informasi dari penelik kami kalau Fatoni sejak hari pelantikan bapak sebagai Lurah setahun silam sudah menyerang santet ke keluargaku. Sasaran utamanya bapak, tetapi yang kena ibu.

Kebencian-dendam antara kami dan keluarga Fatoni itu lahir sejak bapakku memenangkan Dedegan Lurah?Pemilihan Kepala Desa?Kedung Pingit. Bapak bersaing dengan dua orang calon. Satu orang pesaing itu masih kerabat ibu. Markum, namanya. Ia anak menantu Kakek Zawawi, sepupu dari Kakek Karta. Kakek Karta adalah bapaknya ibuku. Calon satunya lagi Barom. Barom adalah sapaan akrab dari Bahar Romli, tetapi warga memelesetkan Barom dengan kepanjangan ?Bajingan Romli?. Tentu orang-orang tak asal celoteh. Bekas robekan di pelipis hingga sebaris luka di bawah matanya menandai sejarah kelamnya.

Sebelum jadwal pendaftaran Calon Lurah, Markum menyatakan kalau dirinya tidak ikut daftar Calon Lurah, karena tak punya biaya untuk membeli suara. Harga pasaran satu suara dibeli 350 ribu, acuan lima tahun yang lalu. Kenyataannya malah berbalik. Markum ikut kompetisi atas sokongan dana dari Fatoni, adik kandungnya. Seorang pengusaha sukses di kota, tetapi tinggal satu desa dengan kami.

Ketika kakak kandungnya kalah telak, Fatoni sudah bertingkah anarki beserta pendukung Markum, di tempat pemungutan suara. Padahal bapak belum dilantik.

***

Usai acara kirim doa keempat puluh hari wafatnya ibu. Aku menata hati mencoba mengikhlaskan kepergian ibu. Namun, memori penderitaan ibu waktu itu tak sedikit pun hengkang dari alam rasa. Wajah pesakitan ibu berkelindan di dalam kepala, bagai siraman garam di luka menganga. Semakin mendidih bara dalam jiwa.

Bertambah mendidih darah murkaku saat mendengar bapak dan segenap kerabat, berembuk perihal ?apa yang mereka jual kita beli?. Saat itu aku menyajikan wedang kopi, mendengar semua perbincangan mereka.

?Bapak, Pakde ? biar Dirgo saja yang melewati Fatoni!? berangku mendidih.

?Jangan, Le[4]! Kita pakai siasat, agar tak tercipta silsilah dendam di antara keluarga Kakek Sulam,? saran bapak meredam.

?Betul itu, Dirgo. Kita beraksi tanpa jejak, pelan saja dan buat kesan, kalau kita tidak menindaklanjuti, ya Syam?? timpal Pakde Soma penuh wibawa. Aku hanya manggut-manggut, meski tetap gerundel.[5]

Aku beranjak, mencari Asrof, adikku. Meski postur tubuh Asrof agak kurus dan masih lebih tingga badanku, tetapi ia gemar berkelahi. Pantang gentar.

?Kang Dirgo, diam di rumah saja. Biar aku yang beresi Dajjal satu itu!? tegas Asrof melarangku ikut membuat tamat Fatoni.

?Tidak, Rof. Aku harus ikut, biar puas,? balasku.

?Tak perlu membawa senjata, Kang,? saran Asrof.

?Terus??

?Bawa tambang saja. Kang Dirgo paham kan, kita apakan sasaran kita??

?Baiklah, mengerti. Aku yang beli talinya.?

?Jangan beli di sini, usahakan di pasar kota, Kang,? anjur Asrof.

Malam itu juga rembukku dengan Asrof menemukan sepakat menggulung Fatoni secara diam-diam, dan malam minggu waktu yang kami sepakati, itu artinya kurang dua malam lagi, Fatoni biasanya balik dari kota pada Sabtu sore, walau aku pernah lihat mobilnya melintas di jalan kampung Rabu sore terkadang Jumat sore, tak tentu.

Esok hari, aku lekas ke kota mengendarai motor?membeli tambang ke kota?sekaligus salat Jumatan, lalu mampir ke rumah teman. Rebahan sambil membicarakan ujian skripsi, hingga langit mulai malam, aku izin pamit.

Setibanya di gapura pembatas desa kami dangan desa tetangga, aku terheran-heran dengan banyaknya mobil polisi parkir di sepanjang jalan kampung. ?Ada apa ini?? batinku meraba-raba.

Bapak beserta Pakde Soma dan beberapa anggota polisi menyambutku di depan garasi.

?Ada apa, tho, Pak?? tanyaku setelah duduk di ruang tamu.

?Fatoni terpenggal kepalanya, dan kepala itu belum ditemukan,? jawab bapak, ?Kau di rumah saja, Le. Bapak dan Pakde menemani Komandan ke rumah korban,? sambungnya.

Setelah mereka hilang di tikungan jalan, aku melangkah ke ruang dalam mencari Asrof, tetapi tak kudapati. Aku tanyakan kepada orang-orang di rumah jawabnya tidak tahu.

Deg!

Hatiku tertuju kepada Asrof. ?Kenapa kamu bertindak sendirian, Rof? Bukankah ini baru malam Sabtu.? Seisi ruang gaibku berkeliaran.

Aku terus mencari Asrof ke rumah-rumah temannya, ke tempat-tempat tongkrongannya, tetapi nihil. Kuputuskan kembali ke rumah. Dalam jeda di kursi meja makan, otakku terus mengunyah kemungkinan-kemungkinan.

?Kamu kenapa ceroboh begitu, Rof? Tidak menghargai aku.?

Langkahku lesu memasuki kamar mandi. Kali pertama aku mengguyur tubuh, tiba-tiba jendela kaca persis di atas bak mandi seperti diketuk-ketuk. Sedikit mendongak, mataku melotot.

?Hah!? teriakku terkejut, spontan kulempar gayung plastik ke arah jendela kaca itu. Prak!

Kepala Fatoni.

Seseorang telah menjambak rambut milik Fatoni. Cukup jelas muka Fatoni yang bersimbah darah sengaja ditempelkan di kaca jendela. Sejenak, berganti wajah separuh bercadar kain hitam. Ia mengarahkan sebuah pisau kepadaku lalu menggerakkan miring di depan lehernya.

?Bangsat! Barooom!? teriakku disusul suara tembakan.

Dor!

Dor!

Reflek kutarik sarung seraya berjongkok. Gonggongan anjing-anjing pelacak mengiris-iris relung jiwa. (Gansar Dewantara – Demak)

 

Catatan kaki:

  1. Malaikat Pencabut nyawa.
  2. Senjakala.
  3. Kakak lelaki dari bapak atau ibu.
  4. Kependekan dari thole?anak.
Leave A Reply

Your email address will not be published.