Berita Nasional Terpercaya

Bagian Kedua: Duka Perempuan Beraroma Kembang Kopi

0

Bernas.id – Dari awal aku tahu bahwa dia tak pernah mencintaiku. Tapi aku tetap keras kepala untuk menikahinya, menerjang ketidaksetujuan bapakku bahkan warga sekampungku. Aku tetap menikahi Martini, si janda beranak satu meski aku tahu dia masih sangat mencintai suaminya yang dulu. Tapi laki-laki beruntung itu telah lama meninggal. Dan aku tak pernah bisa menjadi penggantinya di mata Martini.

Semenjak kami menikah, ia selalu melayaniku dengan baik. Memasak makanan kesukaanku, mengerjakan pekerjaan rumah, dan selalu tersenyum untukku. Kadang kala jika aku sedang benar-benar ingin memperhatikan senyum itu, aku merasa seperti ia melakukannya dengan terpaksa, hanya untuk membuatku senang. Dan sialnya itu selalu berhasil. Buktinya, sampai menjelang dua tahun usia pernikahan kami, aku masih bertahan dengan perasaanku yang bertepuk sebelah tangan ini. Raga Martini mungkin memang menjadi milikku, tapi jiwanya tidak.

Sering aku mendapatinya menangis sesaat setelah kami selesai berhubungan. Jika sudah seperti itu, aku hanya bisa berpura-pura tidur dan tak mendengar tangisannya yang lirih namun sungguh menyayat hati. Meski ia berusaha menyembunyikan kedukaan itu saat tampil di hadapanku, tapi aku jauh lebih mengetahui perasaannya dibanding dirinya sendiri. Aku tidak tahu sampai kapan kami akan sanggup untuk terus berpura-pura antara satu sama lain. Saling menyembunyikan perasaan masing-masing, dan menanggung duka yang sama karena kehilangan seseorang. Martini yang kehilangan suaminya, dan aku yang kehilangan Martini.

Sebelum memutuskan menikah dengannya, awalnya aku hanya berpikir untuk menyelamatkan Martini dan anaknya dari rundungan dan siksaan warga kampung kami yang dulu. Bahkan, bapakku yang seorang kepala RT juga tidak melarang kegiatan warga yang sering memojokkan Martini atau bahkan melukainya secara fisik. Ia dianggap sebagai perempuan pembawa sial yang menyebabkan sebagian besar warga menderita penyakit sesak napas serta gatal tanpa sebab. Bukannya berobat pada mantri atau dokter di puskesmas, mereka justru menyalahkan Martini yang merupakan warga pendatang baru di kampung kami. Katanya, gejala tersebut mereka rasakan setelah mencium aroma kembang kopi yang seringkali berasal dari rumah Martini saat malam hari. Bahkan, tidak sedikit yang meyakini bahwa Martini sedang melakukan jampi-jampi atau semacamnya agar bisa menggoda para pemuda di kampung kami. Sebagian besar masyarakat memang masih memercayai adanya klenik atau mitos yang sengaja dihubung-hubungkan dengan hal-hal gaib. Tapi, kurasa hanya aku yang tidak percaya pada hal-hal semacam itu.

?Desa kita telah dikutuk!? Begitu kata bapak padaku di suatu malam ketika kami berdebat sengit tentang kepindahan Martini yang memang belum lama. Baru sekitar satu bulan ia menempati rumah tua di gigir kampung yang setahuku merupakan peninggalan mendiang suaminya. Sebagai kepala RT, bapak memang sering mendapat banyak laporan atau keluhan dari para warga. Namun minggu-minggu itu, semakin banyak saja warga yang datang ke rumah untuk mengeluhkan hal yang sama, gatal-gatal dan sesak nafas. Aku heran, kenapa orang-orang itu tidak langsung memeriksakan kesehatan mereka pada mantri atau dokter di puskesmas saja? Malah mengadu ke bapakku, yang bahkan tidak tahu menahu soal kesehatan.

?Lalu apa hubungannya wabah yang menimpa masyarakat itu dengan Martini? Lagi pula ia mungkin masih berduka setelah ditinggal suaminya, kenapa para warga justru tidak simpatik padanya?? Tanpa sadar, volume suaraku meninggi saat berbicara di depan bapak.

?O, jadi sekarang kamu sudah berani membentak bapakmu demi membela perempuan pembawa sial itu, ya, Ngguh??

?Aku tidak membelanya, Pak. Tapi bukankah apa yang bapak dan para warga katakan itu adalah sebuah tuduhan tak berdasar? Apa buktinya kalau Martini yang jadi penyebab itu semua??

?Jangan pernah sebut nama laknat itu lagi di rumah ini!?

Sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba saja sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku yang langsung terasa panas. Aku hampir tak percaya lagi kalau bapak tega menamparku begitu keras. Namun setelah perdebatan itu, aku jarang berbicara dengan bapak lagi meski kami tinggal satu rumah. Pun ketika kedua mata kami tak sengaja bersitatap, aku memilih menatap ke arah lain atau pergi menghindarinya.  

Sebenarnya aku masih betanya-tanya sendiri dalam hati, bagaimana mungkin para warga desa ini mengkambing-hitamkan Martini sebagai penyebab mereka menderita sesak nafas dan gatal-gatal itu? Jadi, karena aku merasa saat itu Martini tidak punya siapa-siapa yang bisa membelanya, aku berinisiatif untuk membuktikan bahwa para warga telah salah menilai Martini.

Akhirnya, aku memutuskan untuk bertamu ke rumah Martini malam hari selepas salat Isya?. Suasana depan rumahnya memang remang-remang dengan cahaya lampu pijar yang bahkan hampir habis dayanya. Kuketuk pintu rumah Martini dan memanggil namanya beberapa kali. Dari dalam, kudengar langkah kakinya berjalan mendekat sedikit tergopoh-gopoh. Lalu beberapa saat kemudian, ia membukakan pintu. Pada saat itulah, mataku bersitatap dengan matanya. Meski sudah beranak satu, perawakannya masih sama seperti para gadis yang belum menikah.

?Maaf, Mas Lungguh ada perlu apa ya, datang ke rumah saya?? tanyanya sambil menggendong anak semata wayangnya. Rambutnya dicepol ke belakang, sehingga aku bisa melihat wajahnya secara keseluruhan.

?Boleh saya masuk dulu?? tanyaku. Ia lalu membuka pintu semakin lebar. Masuk ke rumahnya, aroma khas yang yang sering dibicarakan warga kampung langsung menusuk hidungku. Membuatku tak tahan untuk tidak bertanya.

?Aroma apa ini, Mar??

?Kembang kopi, Mas. Saya sedang meroncenya,? jawabnya datar.

?Untuk apa kamu membuat ronce dari kembang kopi?? Kali ini Martini tak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke arah entah, pandangannya seperti kosong begitu saja.

?Dulu suami saya sangat suka sekali kopi racikan murni buatan saya. Kami bahkan menanam pohon kopi di pekarangan rumah kami yang dulu. Selain suka minum kopinya, suami saya juga suka aroma kembang kopi untuk kemudian dibuat teh atau kami racik sendiri menjadi parfum.? Martini masih menerawang, mungkin memanggil kembali sisa-sisa kenangan masa lalu bersama suaminya dulu.

?Tapi sekarang saya sudah tidak bisa melakukan itu semua, Mas. Suami saya sudah meninggal. Saya tidak bisa lagi membuatkan kopi murni untuknya, atau racikan teh atau parfum untuknya. Jadi, saya membuatnya untuk diri saya sendiri.?

Aku berpikir agak lama sembari mencerna kata-kata Martini. Rupanya ibu satu anak itu memiliki duka yang begitu dalam yang hanya mampu dirasakannya sendiri. Sampai sejauh itu, aku tak jadi bertanya lebih jauh terkait tuduhan para warga yang menganggapnya sebagai perempuan pembawa sial karena aroma kembang kopi yang menguar dari rumahnya. Entah mengapa aku tak mau melihatnya menangis dan berduka lebih dalam lagi. Di akhir pertemuan itu, aku hanya menyerahkan sepucuk amplop kecil yang kuminta ia membukanya ketika aku pulang nanti. Awalnya ia memang menolaknya. Namun, karena kupaksa akhirnya ia mau menerimanya juga.

Pada malam lain yang telah kujanjikan padanya, Martini benar-benar datang menemuiku. Ia bahkan telah mengepak barang-barangnya dan membawa si buah hati dalam gendongannya.

?Apa Mas yakin dengan keputusan Mas?? tanyanya hati-hati. Aku memegang tangan Martini dengan erat. Aku hanya mengangguk mantap. Di tengah cahaya remang-remang yang ditimbulkan oleh lampu pijar yang terpasang di gapura desa kami, entah ia melihat binar dalam mataku atau tidak. Yang jelas, aku sudah mantap untuk mengajaknya memulai hidup baru dan berbahagia di tempat lain. Aku dan Martini kabur dari kampung kami secara diam-diam pada suatu malam tanpa bintang. Dalam hati, aku berharap jika wabah yang diderita warga berasal dari aroma kembang kopi yang dironce Martini, setelah ini tak akan ada lagi kambing hitam yang disalahkan. Dan desa kami kembali aman dan tenteram seperti sedia kala.

Aku memutuskan untuk menikahi Martini dan membawanya pindah ke desa lain. Sebuah desa terpencil di pinggiran Kabupaten Semarang. Kebetulan, aku mempunyai kenalan dekat di desa tersebut, dia juga telah banyak membantu kepindahan kami dengan menyediakan transportasi berupa mobil pick up. Kuharap, Martini tak lagi merasakan kedukaan dan jauh dari omong-omong warga.

Namun, sebelum aku resmi menikahinya, rupanya Martini telah mengandung seorang anak.

Leave A Reply

Your email address will not be published.