Berita Nasional Terpercaya

HATI-HATI SESAT PIKIR DALAM NARASI PEMULIHAN EKONOMI

0

Hati-hati dengan narasi-narasi dalam pemulihan ekonomi yang bisa menyesatkan logika.

Sejak ditemukannya kasus positif pertama di Indonesia awal maret lalu, bangsa kita sesungguhnya seperti terbangun dan kaget dengan situasi yang sedang terjadi secara global mendunia. Respon dan kebijakan penanganan dilakukan mengandalkan narasi dan logika yang berkembang di masyarakat maupun dibangun oleh media dan juga institusi-institusi berwenang yang sebenarnya juga sedang mencari narasi-narasi justifikasi.

Kesalahan dalam berlogika atau sesat pikir dalam situasi darurat dapat membawa situasi yang lebih buruk. Fallacy berasal dari kata “fallacia” yang berarti deception atau “menipu”, dan Logical Fallacy atau sesat pikir menurut Irving M Copi (2014) adalah tipe argumen yang terlihat benar, namun sebenarnya mengandung kesalahan dalam penalaran.

Contohnya kondisi saat ini ketika banyak orang seakan-akan tidak takut lagi dengan corona, karena sudah mulai berwisata atau bertemu dalam kerumunan, tidak menggunakan masker ketika berinteraksi dengan orang lain. Bandingkan tingkat ketakutan atau kekhawatiran mereka justru ketika angka konfirmasi positif masih sangat sedikit di awal. Hal ini dianggap sudah benar karena banyak orang yang merasa seperti itu. Atau dianggap benar dengan argumen kebutuhan ekonomi lebih penting daripada kesehatan. Orang lain saja melakukan kenapa kita tidak boleh melakukan ? Kesalahan berpikir ini disebut sebagai Argumentum ad Populum (Bandwagon)

Dalam upaya pemulihan ekonomi pun, sudah menyeruak berbagai narasi yang memiliki potensi sesat pikir dan bisa membawa proses penanganan yang sedang dilakukan justru menjadi kontra produktif.

Saya contohkan saja narasi yang sudah sering disampaikan oleh banyak pihak bahwa “UMKM adalah entitas yang paling kuat bertahan dan paling cepat pulih” dari hantaman dampak ekonomi karena pandemi corona ini. Benarkah demikian ? Ini disebut sebagai sesat pikir Hasty Generalization (Over-generalization), yaitu ketika logika atau kesimpulan diambil dengan terlalu mengggeneralisir sesuatu, seperti pernyataan di atas.

UMKM itu terdiri tiga makhluk, yaitu usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah. Benarkah semua usaha ini bisa bertahan (survive) ? Karakter personal dan jenis masalah diantara ketiga skala usaha tersebut berbeda, sehingga satu sebab belum tentu menghasilkan dampak yang sama, dan tentu saja penanganan yang dilakukan harus dikustom lebih detail, jangan digeneralisir.

Tidak semua UMKM memiliki daya lentur dan kreativitas yang sama sehingga bisa melakukan resiliensi dan bersiap pulih, banyak juga yang tumbang dan tak berdaya lagi. Apalagi jika dilihat berdasar jenis usahanya apakah termasuk kategori merah yang berpotensi merugi karena situasi pandemi, atau termasuk kategori biru yang meningkat keuntungannya karena pandemi. Kita perlu melihat lebih mendalam dan mendetail.

Juga tentang narasi urgensi digitalisasi UMKM, banyak berlaku kesalahan logika jenis False Dicotomy (black or white), yaitu ketika orang berpikir bahwa dalam satu argumen hanya ada dua pilihan. Orang melihat pelaku UMKM sebut saja si A berhasil mempertahankan bisnisnya dengan memindahkan penuh aktivitas pemasaran dan layanan secara daring. Kemudian si B juga terbukti selamat usahanya karena membuka toko online. Dan seorang pejabat kemudian menyampaikan ke semua pelaku UMKM bahwa kalau mau bertahan dan selamat seperti A dan B, lakukan migrasi ke daring semua, bikin toko online.

Sehingga publik menyimpulkan bahwa yang bikin toko online akan selamat, yang nggak bergeser ke digital atau online akan mati usahanya. Kemudian ramai-ramai UMKM buka toko online, ramai-ramai pelaku usaha didaftarkan di marketplace secara gratis, dibuatkan akun bisnis di social media. Apakah masalah mereka semua terselesaikan ? Belum tentu. Bisa jadi justru menambah masalah.

Narasi lain yang masih hangat misalnya ketika pejabat pemerintah di negeri ini menyampaikan sebanyak 9 juta pelaku usaha mikro telah mendapatkan hibah BPUM sebesar 2,4 juta per orang. Benarkah 9juta nama itu sudah menerima 2,4 juta penuh saat ini ataukah itu baru nama-nama yang ditetapkan sebagai penerima ? Apakah tidak ada yang mengalami kesulitan atau kendala dalam pencairannya?

Mungkin kesulitan dalam memenuhi persyaratan pencairan, kesulitan karena harus mengantri di bank padahal ia difabel, ada juga yang terganjal di kantor desa ketika ingin mendapatkan surat keterangan usaha, atau karena ada oknum yang melakukan pemotongan. ini disebut sesat pikir Post Hoc Ergo Propter Hoc, yaitu kesalahan logika atau pengambilan keputusan dari hubungan sebab akibat yang terlalu dilihat terlalu sederhana. 

Narasi yang dimunculkan dan dikembangkan di masyarakat ini, menurut saya, harus lebih didetailkan dan jangan terlalu cepat disebarkan sampai dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jangan suguhi rakyat dengan narasi-narasi yang misleading atau menyesatkan. Saatnya kita saling jujur dan bersatupadu dalam kolaborasi bersama menghadapi pandemi ini menuju kenormalan berikutnya (next normal). 

Yogyakarta,  2 November 2020

Cahyadi Joko Sukmono
Pemimpin Redaksi Harian Bernas

 

 

 

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.