Berita Nasional Terpercaya

Brantas dan Hikayat Cinta Sederas Arusnya

0

Bernas.id – Bengawan Brantas, orang-orang menyebutnya Kali Brantas. Sungai purba yang bermata air di pedalaman Gunung Arjuna itu terletak di belahan Pulau Jawa bagian timur. Jika dilihat dari cakrawala, ia serupa seekor naga yang meliuk-liuk dari Batu, Blitar, Kediri, Nganjuk, Jombang, dan berhenti di Canggu, Mojokerto.

Sampai di kota pelabuhan kuno Canggu, Brantas memecah diri menjadi dua anak sungai. Mengalir lurus ke timur sampai di Laut Banger menjadi Bengawan Porong. Satu lagi ke utara menjadi Bengawan Mas, kemudian bermuara jauh di Selat Madura. 

Konon, Brantas tercipta dari kucuran air kendi yang dibawa terbang oleh Mpu Baradah untuk membelah wilayah Medang i Kahuripan menjadi dua bagian. Pembelahan itu dilakukan atas perintah Batara Airlangga, penguasa Medang i Kahuripan tersebab mundurnya Sanggramawijaya Uttunggadewi sebagai pewaris takhta.

Bahwa, Batara Airlangga memiliki dua istri. Pertama Dyah Sri Laksmi yang melahirkan Sanggramawijaya Uttunggadewi dan Samarawijaya. Istri selanjutnya adalah ibunda dari Mapanji Garasakan. Begitu cintanya Batara Airlangga kepada dua istri dan anak-anaknya, hingga ketika dituntut berbuat adil, dia memutuskan untuk membagi warisan kekuasaan menjadi dua yang sama rata. Mahayogi Medang i Kahuripan, Mpu Baradah yang ditugasi. 

Maka, dengan kucuran air kendi, terciptalah bengawan suci sebagai simbol keadilan cinta. Bengawan yang kelak dikenal dengan nama Kali Brantas menjadi batas dua wilayah baru: Jenggala untuk Mapanji Garasakan, dan Pangjalu untuk Samarawijaya.

Begitu adilnya Batara Airlangga kepada cinta, membuat Brantas diyakini orang-orang sebagai tempat yang memiliki tuah untuk para pengelana cinta. Siapa saja sepasang kekasih yang menyeberanginya, kelak akan disatukan dalam sebuah ikatan abadi.

Namun, pada akhirnya aku tidak lagi percaya kepada hikayat cinta itu. Justru aku menganggap Brantas sebagai kutukan Dyah Sri Laksmi kepada Batara Airlangga, sebab hatinya telah tersakiti oleh kehadiran perempuan lain.

Sebagaimana Dyah Sri Laksmi, aku merasa Brantas adalah sebuah hikayat cinta dengan kenangan pahitnya. Hikayat yang melabuhkan perjalanan perahu hatiku justru ke dermaga perempuan lain yang bukan tujuan sebelumnya.

***

Aku merasa berdosa kepada Sul. Menikahinya tanpa cinta. Sebaliknya, dari sikap dan perilakunya, aku yakin Sul sangat mencintaiku.

Entah segalanya bermula dari mana, sebelum menikahi Sul, aku pernah mengajaknya mendatangi pesta pernikahan perempuan lain. Perempuan yang sempat membawaku menyeberangi Brantas. Mengais tuah dari hikayat cinta Batara Airlangga.

Satu hal yang membuat aku bahagia. Yakni, ketika aku melihat perempuan itu tegar melihat kedatanganku bersama Sul. 

?Terima kasih, kau masih mau datang,? begitu ucapnya kepadaku, beberapa bulan kemudian setelah kami terakhir kali menyeberangi Brantas. ?Sebaiknya kau lekas menjadikan perempuan yang kau ajak itu menjadi penggantiku saja,? lanjutnya, menyarankan.

Aku patah hati. Tapi lega, setidaknya aku bisa membuang kepengecutan dengan berani menyatakan perasaan kepadanya, tepat di hari pernikahannya. Di tengah-tengah patah hati, aku bertemu Sul.

Di sinilah letak dosa itu. Aku menerima cinta Sul hanya untuk mengobati patah hati dan mengubur kenangan. Hari-hari selanjutnya pun aku lalui bersama Sul. Ironisnya, aku selalu membawa Sul ke tempat-tempat yang pernah aku singgahi bersama perempuan yang lebih dulu mendapatkan tempat di hatiku. Bahkan, aku nekad mengajak Sul ke tambangan Kali Brantas.

?Kenalkan, Mak. Ini calon istriku,? kataku kepada Mak Wariyem, pemilik warung kopi di dekat tambangan Brantas, ketika aku sengaja mampir ke tempat yang menyimpan banyak kenangan itu. ?Namanya Sul, Mak,? lanjutku.

?Oalah, cantik juga, tak kalah sama Mbak Iin. Aku kira Mbak Iin yang akan sampean nikahi,? balas Mak Wariyem. Beruntung Sul tidak mendengarnya. ?Mbak Sul akan diajak nambang juga??

?Tidak, Mak. Kami hanya singgah di warung Mak saja. Di Brantas ini banyak kisah. Aku tak ingin membuka luka lama atas kisah itu,? jawabku.

?Kisah? Ada kisah apa di Brantas, Mas?? Mendadak Sul ikut menyela percakapanku dan Mak Wariyem dengan sebuah pertanyaan mengejutkan.

?Duh, hanya kisah tentang mitos buaya penghuni Kali Brantas yang konon ganas, kerap memangsa para penyeberang yang nahas. Aku tak ingin menyeberanginya lagi. Lain kali jika ingin menembus daratan seberang Brantas, kita lewat jalur darat Mrican atau Kertosono saja,? ceracauku sambil menggenggam tangan Sul.

Anehnya, setiap aku mengenggam tangan Sul, segala kenangan menggenggam tangan Iin selalu hadir. Aku juga sering menggenggam tangan Iin dulu, di mana saja, ketika kami sedang berjalan beriringan.

?Cerita dari mulut ke mulut tentang keberadaan buaya penghuni Brantas memang mengerikan,? lanjut Mak Wariyem. ?Tetapi, puluhan tahun tinggal di tanggul ini, aku belum pernah sekali pun melihatnya. Berbeda dengan warga sini yang kerap ketakutan oleh kemunculan binatang ganas itu.?

?Itu sebabnya aku tak mau mengajak Sul menyeberangi Brantas, Mak,? sahutku.

Tentu saja ada yang aku sembunyikan dari Sul tentang kisah itu. Kisah bersama Iin yang tak pernah bisa menjadi purba. Selalu datang dan hadir kembali serupa aliran Brantas yang tak bisa lekang oleh waktu.

Seperti halnya hari itu, mendadak segala ingatan tentang Iin berlintasan kembali di tengah cengkerama antara aku dan Mak Wariyem. Padahal ada Sul di sana.

***

?Jemput aku di tambangan Brantas,? kata Iiin ketika kami menghabiskan sebuah malam menjelang libur panjang akhir tahun. ?Kamu kan belum pernah tahu tambangan Kali Brantas. Mau??

Apa yang tak aku lakukan untuk Iin? Tak pernah sekali pun aku menolak permintaannya. Dengan cara itu, aku bisa selalu menjalin kedekatan dengannya. ?Tentu saja mau. Aku jemput di tempat yang pernah kau ceritakan,? jawabku. 

Begitulah, pada hari yang sudah kami sepakati, aku berangkat dari Surabaya menggunakan sepeda motor butut. Tiga jam perjalanan, sampailah di sebuah tanggul sungai terpanjang di Jawa. Brantas. Sungai yang memisahkan Jenggala dan Pangjalu sejak berabad-abad lalu. Sungai yang menjadi batas wilayah Panjalu dan Jenggala di masa silam.

Bulan-bulan berikutnya, aku semakin sering singgah di Brantas. Jika tidak sedang mengantar Iin yang pulang ke kampung halaman, maka aku menjemputnya saat dia hendak balik ke kota perantauan.

Pernah aku menyeberangi Brantas bersama Iin ketika arusnya membentuk pusaran-pusaran air. Konon, jika kita sedang bersimpangan dengan pusar arus Brantas, lalu melangitkan doa kepada Pencipta, permintaan kita akan cepat dikabulkan. Tiba-tiba saja Iiin bertanya, mirip sebuah doa dan harapan bagiku.

?Seandainya kelak kita menikah, lalu punya anak, akan kauberi nama siapa??

?Aku beri nama Ahnaf jika nanti laki-laki.?

?Kalau perempuan??

?Syaqira. Panggil saja Syasa.?

Namun, kenyataan tidak selamanya berbanding lurus dengan doa dan harapan. Nama-nama itu tidak pernah kusematkan kepada bayi yang lahir dari rahim istriku, sebab takdir ternyata tidak memihak aku dan Iin. 

Oh, iya. Istriku adalah Sul, perempuan dari Kedung Pingit?sebuah desa di kaki Gunung Pandan. Sul adalah obat penawar ketika aku sakit hati sebab kehilangan Iin yang entah apa sebabnya, tiba-tiba menerima pinangan anak juragan toko kelontong di kampung perantauan kami. Lebih tepatnya Sul hadir setelah aku gagal mendapatkan Iin.

Meskipun begitu, aku masih saja selalu dihantui hikayat cinta Kali Brantas. Tentang Iin sebagai kenangan yang menyertainya.

Bagiku, Iin adalah arus Brantas itu sendiri. Arus yang kadang sederas ombak dan melibas apa saja yang dilaluinya. Arus yang dulu selalu menyambut kedatanganku, lalu menemani terayun-ayun di atas geladak perahu penyeberangan.

?Kita terlambat. Arus sederas ini akan membuat para juru mudi perahu tambangan Brantas menutup penyeberangan. Tak ada yang berani berjudi dengan keselamatan mereka, Mas,? ucap Iin ketika kami menginjakkan kaki kembali untuk kesekian kali di tepi sungai purba itu.

?Ini hanya banjir kiriman akibat hujan dari hulu sungai, sebentar saja ia akan surut. Tak sama dengan kisah kita,? sahutku.

?Apa artinya??

?Kisah kita tak pernah surut oleh zaman, sementara arus Brantas ini tidak.? Bibirku mendesis. ?Tetapi, terkadang keduanya juga memiliki sifat yang sama.?

?Apa pula itu??

?Kisah kita dan arus Brantas terkadang sama-sama deras. Sanggup melalui apa saja yang menjadi penghalangnya.?

?Ah, dasar penulis. Kata-katamu membuat aku semakin tak mampu menafsirkannya.?

?Aku bukan penulis, hanya seorang hikayatpobhia!?

?Mbuh, ah. Apalagi itu??

?Aku takut kisah kita akan menjelma hikayat cinta Kali Brantas. Aku perahu renta. Kau arusnya, mengalir jauh ke muara sungai ini hingga di Selat Madura, lepas, lalu menghilang di luas samudera yang tak berujung.? (*Heru Sang Amurwabumi)

Leave A Reply

Your email address will not be published.