Berita Nasional Terpercaya

Refleksi Kasus Ambroncius Nababan: Saatnya Sekolah Menerapkan Literasi Digital Berbasis Anti Rasisme

0

Bernas.id – Berawal dari sebuah konten di media sosial dalam akun pribadi yang ingin mengkritik, akhirnya berimbas pada kasus pidana siber. Ambroncius Nababan dijemput paksa sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dalam kasus dugaan rasialisme terhadap Mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai. Ambroncius dilaporkan setelah mengunggah sebuah konten berupa foto kolase yang menyandingkan foto Natalius dengan gorila serta menambahkan kata-kata yang tidak pantas. Jika Ambroncius dinyatakan bersalah, maka ia bisa menjalani hukuman 5 tahun penjara.

Penanaman Karakter berbasis Anti Rasisme

Kasus ini memberikan sebuah refleksi terhadap bagaimana masyarakat Indonesia saat ini, di tengah derasnya informasi yang menunjukkan keberagaman, ternyata menyimpan benih-benih rasisme. Rasisme merupakan prasangka yang ditujukan kepada keturunan bangsa tertentu. 

Prasangka ini biasanya bersifat negatif dan cenderung menyerang, tidak mencerminkan sikap toleransi terhadap keberagaman. Pada kasus Ambroncius, rasialisme ini diekspresikan melalui media sosial, yang tentunya bisa menimbulkan reaksi negatif dari publik. 

Pendidikan di sekolah dasar dan menengah telah mengenalkan tentang keberagaman dan toleransi serta menghindari isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Hanya saja, dengan adanya kasus ini, sekolah perlu berefleksi apakah pembelajarannya selama ini hanya sampai pada tahap menghafal saja, atau memang sudah menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat. 

Literasi Digital Berbasis Anti Rasisme

Tidak hanya itu, kasus ini merefleksikan pentingnya literasi digital berbasis anti rasisme diajarkan di sekolah-sekolah. Kasus Ambroncius menunjukkan bahwa ia tidak menerapkan literasi digital karena ia menyalahgunakan pengetahuan dan kecakapannya menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan negatif kepada publik. Seringkali dalam benak pengguna media sosial, karena akun yang digunakan adalah akun pribadi, merasa berhak untuk mengunggah konten apa saja sesuai ekspresi emosi diri. Namun, media sosial merupakan ranah publik di dunia maya, yang penggunaannya pun harus berdasarkan etika sosial yang berlaku di masyarakat. Jika di dunia nyata dilarang berkata kasar, maka di dunia maya pun berlaku etika yang sama. 

Literasi digital bukan hanya mengajarkan tentang bagaimana menggunakan aplikasi media sosial saja, tetapi bagaimana menjadi warga negara yang bertanggungjawab dan bisa menyampaikan pesan positif dengan konten-konten yang diunggah. 

Pentingnya literasi digital berbasis anti rasisme ini agar generasi penerus bangsa nanti bisa lebih bijak dan bertanggung jawab dalam memilih konten yang mengkritik tanpa harus menyinggung SARA. (TAF)

Leave A Reply

Your email address will not be published.