Berita Nasional Terpercaya

Perempuan yang Terpasung Hitungan Pati Jodho

0

Bernas.id – Sudah dua minggu, Partiyah memilih mengunci suaranya. Tidak terdengar lagi alunan tembang merdu dari bibir mungilnya. Dia diam, benar-benar diam.

Kali ini, Dirgo merasa turut andil akan diamnya Partiyah. Perempuan cantik kembang desa itu,  mendadak kuyu dan sayu. Binar-binar matanya meredup, kosong, dan dingin. Dirgo kehilangan keberanian untuk menyapanya lagi. Diamnya Partiyah sungguh menyayat nurani Dirgo.

Perempuan itu, satu-satunya yang berhasil menaklukkan hati Dirgo. Kecantikan yang sederhana berpadu dengan tutur bahasa yang lembut memikat hati Dirgo. Partiyah selalu menjadi kesayangan warga desa. Bukan satu, dua lelaki yang mendekat hendak meminang. Akan tetapi, Partiyah menolak semua lamaran dengan cara yang lembut. Maka, saat Partiyah bersedia menerima pinangan Dirgo, tentu menjadi kebahagiaan yang tidak pernah dia sangka.

Berita lamaran Dirgo, dengan cepat tersebar ke penjuru desa. Beberapa orang patah hati, tetapi banyak juga yang bersorak senang. Rata-rata orang-orang berkata bahwasanya Partiyah dan Dirgo memang serasi.

Akan tetapi, kini kembang desa itu sungguh nelangsa. Hampir sebagian besar waktunya dia habiskan dengan duduk di tepi sawah, sesekali jamarinya mengusap-usap wajah menghalau air matanya. Jejak kehilangan tergambar jelas dari matanya yang sembap. Beberapa orang yang lewat mencoba menyapa Partiyah, tetapi dia memilih diam.

Dari jauh, Dirgo melihat tatapan mata kosong Partiyah. Ratapan tembang duka yang mengalir deras dari kedua kantong mata Partiyah, mengiris duka di hati Dirgo.

Sungguh, Dirgo tak ingin mengusik Partiyah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan atau basa-basi yang pasti akan membuat dia jenuh. Namun, diamnya Partiyah adalah kebingungan. Orang-orang mulai menerka-nerka alasan Partiyah diam. Apakah kegagalan pernikahan yang menjadi sebab Partiyah diam? Apakah sesakit itu? Bukannya Partiyah masih bisa memilih untuk menerima lamaran dari lelaki lain?

Dirgo menghela napas panjang. Mengingat kembali kejadian sore itu. Saat semua keluarga besar berkumpul, termasuk Mbah Kastardji, sesepuh Desa Kedung Pingit. Mereka bertemu guna mencari hari baik untuk acara pernikahan Dirgo dan Partiyah.

Mbah Kastardji, sosok yang paling dihormati di desa dan selalu dicari pada setiap persiapan lamaran karena perhitungan weton-nya¹ tak pernah meleset. Sayangnya, hitungan weton Dirgo dan Partiyah tertuju pada kata, pati jodho².

Weton selawe³ iku nggarai apes,” kata Mbah Kastardji. “Akan banyak ketidakberuntungan dalam rumah tangga jika dipaksakan. Lebih baik, kamu pisah aja,” lanjut Mbah Kastardji.

Dirgo tak bisa mempercayai kesimpulan itu. Dia meminta solusi untuk masalah pernikahan pati jodho.

“Mbah Kastardji, apa nggak ada cara lainnya biar pernikahan ini tetap bisa berlangsung?” tanya Dirgo. Kegelisahan tampak jelas di wajahnya, telapak tangan dan kakinya basah.

Mata Mbah Kastardji menerawang jauh, jarinya menggulung-gulung tembakau, lantas mengisapnya kuat, cerutunya tak berhenti mengepulkan asap. Dalam posisi duduk bersila, tangannya mengetuk-ngetuk pinggiran kursi bambu panjang.

“Angel iki, Dir,” celetuknya. “Weton selawe kudune biso3 disiasati dengan memilih tanggal nikah yang bernilai satriya wibowo4, hitungan neptu5 tiga belas, yaitu Kamis Legi, Senin Pahing, Jum'at Pon, Sabtu Wage, dan Minggu Kliwon,” kata Mbah Kastardji lagi.

Sejenak Dirgo senang, rona bahagia terpancar dari kedua wajahnya. “Kalau gitu, pilih nikah di hari-hari itu aja, Mbah.”

Mbah Kastardji menggelengkan kepalanya, kemudian melanjutkan lagi ucapannya, “Weton Partiyah itu Selasa Wage dan kamu Sabtu Pahing. Ini sulit berjodoh, benar-benar tidak bisa bersatu. Kedua weton itu adalah larangan tak berpenangkal, nuju pati6.”

“Tapi, Mbah ….” Dirgo mencoba menyela perhitungan Mbah Kastardji.

“Sudah-sudah. Jangan dituruti nafsumu, Ngger. Ini juga untuk kebaikanmu sendiri.” Nasihat Pak Karta memotong ucapan Dirgo.

Sebagai anak tunggal dan pewaris garis keturunan, wajar jika Pak Karta khawatir anaknya ditimpa kesialan. Perasaan was-was menghantui pikiran Pak Karta. Ramalan pati jodo membuat dia tak punya pilihan lain, selain menentang rencana pernikahan itu.

Sebetulnya, Dirgo tidak terlalu mau ambil pusing dengan perhitungan itu. Cukuplah cintanya pada Partiyah untuk menjadi awal membangun rumah tangga. Akan tetapi, melanggar aturan dan menjadi durhaka, Dirgo tidak berani.

Dengan rasa bersalah yang teramat sangat, Dirgo memutuskan meninggalkan Desa Kedung Pingit, mencoba melupakan cintanya pada Partiyah. Hingga, tersiar kabar burung, Pertiyem gila. Dirgo tidak mau mempercayai kabar burung itu, dia memilih pulang memastikan kebenaran cerita.

“Partiyah, orang-orang berkata kamu gila dan aku memilih tak mempercayai itu,” ucap Dirgo pada suatu malam, sehari setelah kepulangannya.

Partiyah tidak banyak berubah kecuali tatapan mata yang kosong dan dingin, juga wajahnya yang semakin memucat.

“Siapa yang gila?” teriak Partiyah.

Dirgo belum sempat menjawab teriakan Partiyah, lagi-lagi perempuan itu meninggikan suaranya. “Pergi! Pergi!” usir Partiyah kasar. Belum puas dengan kata-kata itu, Partiyah mengeluarkan umpatan sumpah serapah, “Modiar, modiar! Wong gendheng, edan! Jahat, tega koen ambek aku.” 

Dirgo menarik tangan Partiyah, mencoba menenangkan. Akan tetapi, Partiyah menjadi histeris, meronta-ronta, berteriak sekeras-kerasnya. Kemudian tertawa terbahak-bahak. Lalu menangis kencang.

Malam itu, Desa Kedung Pingit yang semula tenang menjadi geger. Orang-orang mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi sebenarnya?

“Mbah Kastardji, Mbah Kastardji. Partiyah kumat lagi!” Seorang warga berlari menuju rumah Mbah Kastardji. Menggedor-gedor rumah dengan tak sabar.

Mbah Kastardji keluar dari rumah berpintu kayu itu, mengambil ikat kepala hitam dan berjalan menuju rumah Partiyah. Dilihatnya wajah orang-orang yang kebingungan.

Dirgo terduduk lemas, tangannya mengepal keras. Memukul-mukul pohon tempatnya bersandar. Rasa bersalah perlahan menyusupi hati Dirgo. Yah, Dirgolah yang telah membuat Partiyah gila. Setidaknya itu pemikirannya.

Kehadiran Mbah Kastardji, membuat Partiyah semakin menjadi-jadi, melempar semua benda yang ada dihadapannya. Menendang pintu dan kursi. Ngamuk tidak bisa dikendalikan. Mbah Kastardji menarik tubuh Partiyah, ikat kepala dia lepas, kemudian menggunakan itu untuk mengikat kedua tangan Partiyah. Mulutnya komat-kamit membaca mantra.  Menyemburkan air ke wajah Partiyah.

Eling! Eling! Eling!” teriak Mbah Kastardji kencang. Wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal saja dari wajah Partiyah. Mata Mbah Kastardji memerah, bibirnya menyeringai.

Melihat tatapan mata itu, Partiyah mendadak diam. Tubuhnya bergetar kuat, keringat menetes membasahi sekujur tubuhnya. Ketakutan mendadak hadir. Pertiyem terkulai lemas. Kekuatan hilang. Rasa takut tidak mampu dia sembunyikan lagi.

“Jangan, Mbah ?.” Lirih suaranya.

“Diam,” bisik Mbah Kastardji di telinga Partiyah.

Dalam gemetar Partiyah teringat kejadian malam paling laknat dalam hidupnya.

Hari itu, setelah perhitungan weton selawe, Partiyah menemui Mbah Kastardji diam-diam, mencoba mencari cara memutuskan kesialan pati jodho.

Tirakat, dan Partiyah mempercayai itu. Sesuai kesepakatan berdua, pada malam Kamis Legi, kembali Partiyah menemui Mbah Kastardji di sebuah persawahan. Tidak terlintas pikiran buruk dalam hati Partiyah. Dia manut, nurut demi bisa berjodoh dengan Dirgo.

Malam itu, menjadi malam paling laknat dalam hidup Partiyah. Kesucian direnggut paksa oleh Mbah Kastardji. Rontaan dan jeritan minta tolong terbungkam oleh tangan Mbah Kastardji yang membekap erat mulutnya.

Partiyah diam, menyimpan rapat semua nahas hari itu. Ancaman Mbah Kastardji membuatnya kehilangan keberanian menyampaikan kebenaran. Partiyah diam, benar-benar diam.

Dia benar-benar pati jodho bukan karena hitungan weton, tetapi kegilaan yang timbul setelah malam paling laknat dalam hidupnya. (*Dyajeng ? A3 Community, Lombok NTB)

 

Catatan kaki:

  1. Weton                          : Hari lahir seseorang dengan pasarannya (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon).
  2. Pati Jodo                     : Dalam hitungan neptu artinya pernikahannya akan penuh kesengsaraan atau ada kematian.
  3. Weton Selawe              : Neptu pasangan calon pengantin yang dijumlahkan hasilnya 25.
  4. Satriya Wibowo           : Selalu mendapat penghormatan dan mendapat kemuliaan.
  5. Hitungan Neptu           : Hitungan pada masyarakat Jawa sebagai pedoman untuk menghitung jodoh perihal keberlangsungan sebuah pernikahan.
  6. Nuju Pati                     : Mendekati kematian atau kemalangan.
Leave A Reply

Your email address will not be published.