Berita Nasional Terpercaya

Kisah Julius Widiantoro, Anak Desa yang Menjelma Jadi Brand Strategist Merek Kenamaan

0

BERNAS.ID – Berpengalaman selama kurang lebih 25 tahun di bidang brand strategist, Julius Widiantoro awalnya merupakan seorang anak dari desa yang menghabiskan hari-harinya di sawah dan bermain dengan teman-temannya.

Sejak kecil, dia telah “terpapar” dengan berbagai pengalaman yang berkaitan dengan brand, mulai dari batu bata hingga merek pasta gigi. Dari situ, kelak dia menyadari pentingnya sebuah entitas dalam bentuk apapun untuk membangun penanda diri sehingga memiliki nilai manfaat.

Kini, sudah 14 tahun Julius menikmati hari-harinya di Kinaya Branding Consultant, yang ia dirikan bersama dua kawannya. Pemuda desa itu selanjutnya menjelma sebagai sosok yang berperan dalam suksesnya branding dari banyak merek ternama di Tanah Air.

Geng DOLS

Julius tumbuh di sebuah desa bernama Warak, Mlati, Sleman, sekitar 3 km dari Taman Makam Pahlawan, tempat tokoh organisasi Boedi Oetomo Dr. Wahidin Sudirohusodo bersemayam.

Baca Juga: Kelik Pelipur Lara, Melawak Sejak SD hingga Sukses Jadi Wakil Presiden Republik BBM

Tinggi di wilayah lereng selatan Gunung Merapi, membuat pria yang memiliki nama panggilan kecil Wiwid ini menghabiskan hari-harinya dengan menikmati pemandangan yang indah, seperti sawah dan lembah.

“Hobi saya antara lain berkisar antara sawah, lapangan bola atau voli, dan sekolah,” katanya kepada Bernas.id.

Ayahnya merupakan seorang guru dan kepala sekolah, ibunya wiraswasta, dan kakeknya adalah kepala desa yang memiliki lahan untuk digarap.

Dari situ, ia belajar menjadi seorang petani. Julius juga memelihara ikan di kolam yang terletak di tengah sawah. Pulang sekolah, ia menyempatkan diri mampir ke sawah untuk memberi makan ikan.

Kerap kali, kawan-kawannya mengikutinya ke sawah. Meski tumbuh di wilayah yang belum terjangkau listrik kala itu, ia menikmati kebersamaan yang luar biasa dengan teman-temannya.

Ketika ada turnamen sepak bola, dengan bimbingan seorang mentor yang merupakan mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia Yogyakarta).

Mereka membuat berbagai kreativitas seperti sablon kaos, papan skor yang menarik, bendera tim, dan sebagainya. Julius menyebutkan sebagai “branding” event yang masih sangat tradisional, kala itu era 1980-an.

Kemudian, lahirlah geng “konco dolan” yang diberi nama DOLS, kepanjangan dari Dolanan Ora Lali Sekolah atau bermain tidak lupa sekolah. 

Sebagai kepala geng, Julius kerap diikuti teman gengnya bahkan ketika harus melakukan pekerjaan di sawah seperti menanam bakau, mencabuti rumput, dan lain-lain.

“Kadang mereka ikut atas kemauan sendiri. Ya, saya senang lah,” tuturnya dengan tawa rindu mengingat kenangan masa kecilnya.

Baca Juga: Cerita Tony Sukentro: Dokter Bedah Seperti Tentara, Harus Siap Kapan Pun

Selain kenakalan anak-anak lainnya, ternyata geng itu juga sebagai wadah untuk menuangkan kreativitas, seperti membuat ukir-ukiran, dan sebagainya.

Sense of aesthetics saya terbangun di sana. Tidak ada hari yang membosankan ketika SMP,” ujarnya.

Selain bertani dan bermain, Julius juga suka membaca buku. Ayahnya kerap membawakan buku cerita rakyat setiap akhir pekan. Bibi-bibinya atau dalam bahasa Jawa bulek dan bude, juga sering memberinya buku.

“Saya suka buka bongkar-bongkar lemari, menemukan harta karun buku Nagasasra dan Sabuk Inten,” ucapnya.

“Yang kedua buku berjudul cerita silat Jawa karya sang maestro SH Mintardja menulis Api di Bukit Menoreh,” imbuhnya.

Batu Bata dan Pasta Gigi

Ketika berusia 9 tahun, Julius diajak sang ayah untuk mencari batu bata dan genteng dengan kualitas terbaik. Dengan sepeda motor, ia dibonceng ayahnya melaju ke wilayah Godean ke arah barat.

Meski sudah terlihat tempat produksi batu bata ternyata bukan itu yang dicari ayahnya. Melaju cukup jauh, akhirnya mereka berdua menemukan penjual batu bata yang dimaksud.

“Kami tetap mencari batu bara yang ada tanda centang dari jari. Saya belum kenal branding, tapi batu bata berkualitas sudah ada tandanya, meskipun waktu itu belum ada merek,” jelasnya.

Setelah lulus SMP, Julius harus meninggalkan Yogyakarta karena meneruskan sekolah di Magelang, Jawa Tengah. Sekolah asrama khusus laki-laki itu membuatnya bertemu banyak teman dari berbagai daerah dengan beragam latar belakang.

Namun perbedaan sangat mencolok begitu terasa ketika ia melihat kawan-kawan yang berasal dari kota besar. Perbedaan itu bahkan bisa terlihat dari merek pensil, sepatu, dan bahkan pasta gigi.

Di kamar mandi, nampak berjejeran peralatan kamar mandi setiap murid. Tapi ada yang berbeda, tentu saja itu milik Julius karena merek pasta giginya bukan yang menggunakan “dent-dent”.

Kala itu, ia jatuh cinta dengan merek pasta gigi Darkie. Menurutnya, secara desain sangat menarik dengan kombinasi rupa orang dengan warna hitam dan senyum gigi putih yang mencolok.

Setelah setia menggunakan merek pasta gigi tersebut, pada akhirnya dia harus kecewa. Imej yang dibangun oleh merek tersebut berubah ketika berganti nama, setidaknya begitu pandangan Julius kala itu.

Baca Juga: Kisah Haryo Ardito, 20 Tahun Berkarier Profesional Hingga Jadi DieHard Motivator

“Apa yang terjadi sekitar dua tahun, Darkie berubah jadi Darlie. Darlie itu seakan jadi feminin, saya merasa ini bukan brand saya lagi lah,” katanya.

“Saya belum belajar soal brand, waktu itu saya merasa ada yang mengganggu, dan saya tidak pakai lagi. iIu kesadaran brand yang paling saya sering sharing ke teman-teman,” jelasnya.

Dari situ dia menyadari jika ketika suatu produk ingin mengganti bungkus atau packaging design maka perlu kehati-hatian.

Ditolak Jadi Wartawan

Julius suka menulis, bahkan di sekolahnya ia kerap mengisi tulisan di majalah dinding. Dia bahkan menolak pencalonan ketua OSIS supaya bisa fokus dengan majalah dinding dan kegiatan menulis, serta membentuk koperasi untuk menjual alat tulis, makanan, dan termasuk dagangan sang ibu.

“Jadi saya bawa dagangan ibu saya. Tentu saya tidak malu ke sekolah sambil nenteng dagangan,” katanya.

Setelah lulus SMA, ia melanjutkan studi S1 di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Kemudian dia mengambil master di Universitas Indonesia jurusan Sastra, American Literature.

Singkat cerita, setelah menyelesaikan studinya, ia melamar sebagai jurnalis di salah satu media besar di Indonesia. Namun, dia ditolak karena saat itu Indonesia sedang dilanda krisis moneter.

Sempat ditawari untuk menjadi wartawan di media ekonomi, Julius malah mencoba melamar di PT Unilever Indonesia. Proses rekrutmen yang cukup lama, membuatnya menerima anjuran untuk bekerja di perusahaan di bidang kreatif.

“Saya diantar seorang ibu yang juga bintang film indriati Iskak. Saya diajak makan di lantai 9, ada perusahaan kreatif di bidang brand communication, milik anaknya yang baru pulang dari Pasadena (Amerika Serikat), diajak main ke situ,” katanya.

“Lihat suasana kantornya begitu estetik, desainnya, suasananya juga menarik. Mereka bikin divisi riset marketing, saya masuk ke perusahaan itu, memulai sebagai brand strategist analyst,” imbuhnya.

Baca Juga: Kisah Ahmad Saifudin Mutaqi, Lahirkan Mahakarya dan Ajak Arsitek untuk Merdeka

Meski berkarier di perusahaan kreatif, Julius masih mengasah hobi menulisnya. Dia kerap menulis cerpen dan feature, kemudian berhasil tayang di surat kabar ternama.

Julius mengingat pesan sang paman agar ia suatu saat harus membuat perusahaan sendiri. Setelah tiga tahun, ia keluar dan mendirikan perusahaan kecil bersama dengan lima kawannya. Namun ketika itu, reaksi pamannya sungguh di luar dugaan.

“Saya menikmati pekerjaan, tapi perkataan om saya masih terngiang di hati dan benak saya. Akhirnya tahun ketiga, saya keluar. Saya bilang om saya dan bikin perusahaan sama teman-teman, dia kaget terus bilang ‘ngapain enak-enak kerja kok keluar?’, ujarnya.

“Saya gelisah tiga tahun supaya cepat mandiri, ternyata dia lupa apa yang dia katakan,” tutur Julius.

Setelah 7 tahun, dia memutuskan resign dan mendirikan perusahaan baru bernama PT Kinaya Triquesta Branding atau dikenal dengan Kinaya, inspiring brand community.

Kinaya, Inspiring Brand Community

Kinaya lahir pada 2007, ketika itu Julius berkolaborasi dengan dua kawannya, yang dulu pernah satu perusahaan dengannya. Mereka adalah Andi Yulianto dan Dian Suryani.

Ketiganya berasal dari latar belakang yang berbeda, Andi memiliki kemampuan di bidang design grafis, Dian lebih menangani manajemen, dan Julius merupakan lulusan sekolah filsafat dan sastra.

“Sebenarnya kalau bicara branding itu ada ilmu psikologi, antropologi, ekonomi, psikologi konsumen, linguistik, grafis, dan digital dan sebagainya,” katanya.

“Bahkan mencakup banyak ilmu, termasuk etnologi,” imbuhnya.

Sudah ada banyak merek ternama di Tanah Air yang mengandalkan Julius dan kawan-kawan, seperti Pertamina, Calbee Wings, The Tempo Group, Lion Japan, dan sebagainya.

Salah satu yang menarik ketika menangani klien adalah bagian rebranding. Suatu saat, Kinaya harus membantu rebranding obat maag Promag yang telah menjadi market leader. Bahkan market share pada 2008-2009 mencapai 85%. Meski begitu, obat tersebut belum diminati kalangan anak muda. 

Pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana membuat Promag tetap bisa menjangkau konsumen loyalnya yang kebanyakan orang tua, namun juga menarik bagi generasi muda.

“Kemudian kita studi, kita redesign. Desain ini harus mencerminkan kepaduan tapi harus dicintai oleh loyal users. Saya belajar pengalaman dari Darkie,” katanya.

Kemudian, ada produsen ikan kaleng yang melayani pembuatan merek ikan kaleng lainnya. Di sisi lain, produsen tersebut memiliki brand ikan kaleng sendiri, tapi tidak laku di pasaran.

Akhirnya dilakukan rebranding untuk tampil berbeda, menampilkan desain yang berbeda dengan merek ikan kaleng lainnya.

“Tapi yang kita tampilkan makanan yang siap saji, siap dimakan, karena kebetulan dari brand itu sudah diolah dua kali, digoreng, kemudian jadi balado,” ucapnya.

Baca Juga: Perjalanan Profesor Suhono, Guru Besar ITB yang Jadi Sosok di Balik Smart City di Indonesia

“Akhirnya kita bikin, lihat packaging yang baru King's Fisher karena sudah disajikan dengan gambar nasi mengepul, piring dihias cantik, itu menstimulasi orang untuk cepat pulang makan,” jelasnya.

Hidup adalah Anugerah

Pengalaman selama 25 tahun di bidang branding membuat Julius menyadari bahwa ilmunya harus dibagikan kepada orang lain.

Dia berharap bisa berbagi melalui berbagai sarana seperti podcast, artikel pendek, dan saluran lainnya. Bagaimanapun, ia masih suka menulis dan berharap tulisannya dapat bermanfaat bagi orang lain.

“Tulisan yang easy to read, ringan, mudah-mudahan bermanfaat bagi teman-teman brand management. Tulisan ini jadi semacam teman perjalanan karena ini sekitar 80-90% adalah pengalaman pribadi, dengan sedikit teori,” katanya.

Dalam kesehariannya, Julius menerapkan prinsip hidup penuh syukur atas segala hal yang telah terjadi, yang membentuknya menjadi seseorang seperti saat ini.

“Hidup ini adalah anugerah yang harus jadi kesempatan saya untuk berubah tapi juga berbagi dengan orang lain agar menjadi berkah,” ujarnya.

“Berkah belum tentu finansial, tapi juga jadi sahabat,” imbuhnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.