?Angon Bocah?, Tanamkan Kebersamaan Lewat Permainan Tradisional
SUASANA Jalan Wiratama di Kelurahan Tegalrejo, Jogja, Minggu (29/11), meriah oleh riuh rendah suara bocah. Celoteh dan tawa riang mereka yang tenggelam dalam keasyikan memainkan berbagai permainan tradisional tak henti-hentinya terdengar.
Aneka permainan tradisional seperti engrang, nekeran (main gundu), gangsingan (gasing), balap bakiak raksasa, sundhah mandhah (engklek), hingga “drag race” kapal othok-othok mereka mainkan. Seru! Sampai-sampai orangtua mereka pun ikut bermain, kangen dolanan berbagai permainan masa kecil.
Baca juga: Rumah Joglo, Rumah Adat Jawa yang Memiliki Banyak Keunikan
“Kapal othok-othok ini dulu begitu populer. Tapi sekarang hanya ada di toko-toko suvenir atau hanya di Sekaten (pasar malam perayaan Maulid Nabi di Jogja). Kita hidupkan lagi semangat memainkan permainan tradisional anak yang saat ini hampir punah, karena tergerus permainan modern,” kata Dina Kurnia Harjanti, Ketua Karang Taruna Wiratama Tegalrejo, penggagas acara tersebut.
“Drag race” alias adu balap kapal othok-othok digelar di trek lurus dibuat dari talang plastik sepanjang dua meter yang diisi air. Sederhana memang. Tapi, karena dimainkan bersama-sama, gegap gempitanya tak kalah dengan balap F1 atau MotoGP.
Sorak sorai juga terdengar dari arena gangsingan. Gelanggangnya dibuat dari penggorengan. Gasing diputar bersama, siapa yang gasingnya berputar paling lama, dialah pemenangnya. Hadiahnya sesuatu yang digemari anak-anak, camilan.
Layaknya kompetisi, protes, bersitegang dan adu mulut kadang muncul. Tapi, tanpa penengah, mereka sudah akur lagi. Belum semenit, mereka sudah tertawa bersama lagi. Pas dengan tema “Angon Bocah” yang menjadi tajuk acara tersebut.
Angon (bahasa Jawa) berarti menggembala. Namun, di kalangan masyarakat Jawa, angon tidak identik dengan menggiring hewan ternak ke tanah lapang, sawah atau padang rumput untuk mencari makan. Bocah-bocah pun diangon, dibawa ke suatu tempat untuk bermain-main dan bersenang-senang bersama. Jika sapi, bebek atau kambing diangon menjadi kenyang, bocah-bocah yang diangon untuk bermain-main permainan tradisional menjadi lebih mengenal dan memahami arti kebersamaan.
“Kita ingin anak-anak tahu kalau dulu ada banyak permainan. Permainan dulu lebih mengutamakan kebersamaan, bukan bersifat individu,” kata Dina.
Menurutnya, anak jaman sekarang cenderung bermain gadget. Meskipun bagus, gadget mengurangi interaksi dan komunikasi anak.
“Angon Bocah” juga menarik minat Wakil Walikota Yogyakarta, Imam Priyono. Menurutnya, permainan anak tradisional merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia.
“Permainan tradisional bukanlah permainan tanpa makna. Permainan tradisional mengandung nilai-nilai dan norma-norma luhur yang berguna bagi anak-anak untuk memahami dan mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan,” tuturnya.
Dia menilai bocah-bocah sekarang beralih ke permainan modern yang bermunculan seiring perkembangan teknologi. Permainan modern sangat mudah diterima, karena lebih gampang dimainkan dan tidak butuh banyak tenaga untuk memainkannya. Yang sering dianggap sepele adalah dampak negatif yang dibawa permainan modern.
“Permainan modern menjadikan anak-anak lebih individualis. Mereka menjadi sulit bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya,” kata Imam yang terlihat ceria, meskipun terengah-engah, usai menjajal egrang.
Efek negatif permainan modern dan sisi positif permainan tradisional sudah sering dibahas. Sudah banyak yang mengetahuinya pula. Namun, bertindak tidak segampang berkata-kata. Hingga kini, kesempatan bagi bocah-bocah untuk memainkan permainan tradisional belumlah banyak. Mestinya, “Angon Bocah” tidah hanya ada sekali saja di Wiratama, melainkan dimunculkan di mana-mana tanpa perlu menggelar acara resmi.
Baca juga: Mengenal Keunikan Rumah Adat Jambi yang Memiliki Ukiran Eksotik