Berita Nasional Terpercaya

Mitigasi Risiko Pembiayaan Berbasis Akad Murabahah pada Perbankan Syariah

0

HarianBernas.com – Penyaluran kredit pada perbankan konvensional haya mengandalkan konsep bunga dalam semua produknya. Kebutuhan apapun nasabah bisa diselesaikan dengan konsep tersebut sehingga tidak banyak muncul kompleksitas dalam operasionalnya. Hal ini berbeda dengan perbankan syariah yang dalam penyaluran pembiyaannya harus memilih akad dan skema yang tepat.

Ketika nasabah memiliki kebutuhan tetentu maka praktisi perbankan syariah akan melakukan analisa mendetail untuk menentukan akad dan skema yang tepat supaya menguntungkan kedua belah pihak. Dengan skema ini tentu akan memberikan keadilan dan keuntungan yang lebih dari sekedar deretan angka semata.

Salah satu akad yang sering digunakan adalah akad murabahah. Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa pembiayaan murabahah sampai dengan April 2016 sebesar Rp. 117.375 Milyar atau sebesar 58.13 % dari total pembiayaan perbankan syariah di Indonesia.

Data ini memberikan petunjuk bahwa saat ini mayotitas Perbankan Syariah di Indonesia masih menggunakan akad murabahah pada penyaluran pembiayaannya. Oleh karena itu perlu dilakukan mitigasi risiko yang baik terhadap akad murabahah supaya protofolio perbankan syariah tetap terjaga dengan baik.

Menurut Muhammad Syafi?i Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik, murabahah merupakan akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam akad murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang dibeli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Akad ini bisa digunakan dalam pembiayaan investasi bagi nasabah.

Jika Nasabah membutuhkan Ruko, maka Bank Syariah akan membeli Ruko dari penjual dengan harga misalkan Rp. 3 Milyar. Ruko tersebut akan dijual ke Nasbah dengan tambahan keuntungan (margin) sesbesar misalkan Rp.  600 juta sehingga harga jual menjadi Rp. 3.6 Milyar. Selanjutnya nasabah mencicil harga tersebut dalam jangka waktu 36 bulan / 3 tahun. Maka angsuran nasabah setiap bulannya adalah Rp. 100 Juta. Total harga jual tersebut tidak akan berubah sampai dengan lunas walaupun ada gejolak ekonomi atau kenaikan suku bunga.

Pemberian pembiayaan murabahah dalam jangaka waktu yang panjang menimbulkan risiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada pihak ketiga. Menurut Adiwarman A Karim dalam bukunya bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, risiko tersebut pada akad murabahah timbul karena:

Pertama, kenaikan DCRM (Direct Competitors Market Rate). Kedua, kenaikan ICRM (Indirect Competitors Market Rate). Ketiga, kenaikan ECRI (Expected Competitive Return for Investors). Bank dapat menetapkan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan murabahah dengan mempertimbangkan hal-hal berukit: Pertama, tingkat margin saat ini diprediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan syariah (Direct Competitors Market Rate ? DCRM). Semakin cepat perubahan DCRM diperkirakan akan terjadi maka semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.

Kedua, suku bunga kredit saat ini dan diprediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan konvensional (Indirect Competitors Market Rate ? ICRM). Semakin cepat perubahan ICRM diperkirakan terajdi, semakin pendek jangka waktu pembiayaan.

Ketiga, ekspektasi bagi hasil kepada pihak ketiga yang kompetitif di pasar perbakan syariah (Expected Competitive Return for Investors ? ECRI). Semakin besar perubahan ECRI diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.

Risiko suku bunga dalam konteks perbankan syariah bisa terjadi pada pembiayaan murabahah yang diambil dari rekening investasi. Dimana nasabah mengharapkan tingkat keuntungan yang sama dengan tingkat keuntungan suku bunga di perbankan konvensional.

Sehingga kenaikan suku bunga investasi di perbankan kompetitor akan menyebabkan investor menarik dananya ketika perbankan syariah tidak menaikan nisbah bagi nasabah. Hal ini menjadi dilematis bagi perbankan syairah, disatu sisi nasabah penabung mengharapkan keuntungan yang meningkat sesuai dengan kondisi suku bunga, di sisi lain perbankan tidak mungkin mengubah harga jual pada akad murabahah yang telah disepakati bersama dengan nasabah pembiayaan.

Hal ini bisa dimitigasi dengan menaikan margin pembiayaan murabahah diatas rata-rata rate suku bunga atau menyediakan produk pembiayaan berbasis bagi hasil maupun bebasis sewa (ijarah)

Menurut Tharikul Khan dan Habib Ahmed masalah potensial yang juga harus diwaspadai oleh bank dalam akad ini adalah keterlambatan pihak ketiga untuk membayar sedangkan bank tidak dapat menuntut kompensasi harga melebihi harga yang telah disepakati atas keterlambatan pembayaran tersebut. Risiko ini akan menjadi bertambah besar ketika diterapkan dalam pembiayaan jangka panjang.

Tidak hanya kompensasi disini memberikan kesempatan pada nasabah yang tidak mempunyai itikad baik untuk menunda pembayaran (moral hazard). Selain itu bank dalam hal ini kesulitan untuk menentukan siapa nasabah yang benar-benar kesulitan untuk membayar tagihan atau nasbah yang menunda pembayaran meskipun mampu untuk melunasi tagihan. Besarnya risiko kredit seperti ini bisa dimitigasi dengan penerapan analisa mendalam tehadap character, capital, capacity, collateral, condition of economic serta sharia complience.

 

Eka Jati R. Firmansyah

Praktisi Perbankan Syairah

Pemerhati dan Trainer Ekonomi Syariah.

Tinggal di Yogyakarta

Leave A Reply

Your email address will not be published.