Berita Nasional Terpercaya

Abimanyu dan Hikayat Rebab Kematian

0

Bernas.id – Benarkah suara rebab yang dimainkan dengan penghayatan tinggi bisa mengundang kematian? Setiap kali pertanyaan itu datang mengusik, aku teringat sosok seorang wiyaga rebab[1] yang kini sudah meninggalkan kepiawaiannya memainkan gamelan gesek kuno itu. Entah mengapa, tiap kali pertanyaan itu hadir, rasa penasaran untuk mengungkap kebenaran ceritanya serasa bangkit bersama alunan suara rebab yang mendengung di telinga, lalu menusuk ke dalam batin.

Adalah Mbah Soma, lelaki tua yang menurut pengakuannya sudah menjadi wiyaga rebab sejak usia belia, ketika belum menikah. Ia menjadi wiyaga kesukaan dalang-dalang sebab permainan rebabnya dianggap memiliki penjiwaan kuat, bisa menyatu dengan adegan-adegan sedih yang diceritakan si dalang. Setiap ada pergelaran wayang kulit di Desa Kedung Pingit dan sekitarnya, bisa dipastikan bahwa Mbah Soma akan didaulat mengiringi. Ia masih terhitung sebagai saudara tua dari nenekku, sebab itu aku memanggilnya Mbah Kung?kependekan Simbah Kakung; kakek. Selain menjadi wiyaga, ia juga dikenal sebagai penggali kubur?pekerjaan yang hanya sanggup dilakukan Mbah Soma di antara semua warga desa kami, entah apa sebabnya.

Tetapi itu dulu, ketika Mbah Soma belum setua sekarang. Kini ia hanya dikenal sebagai seorang  penggali kubur saja, bukan lagi wiyaga rebab. Entah apa yang menjadi latar belakang ia berhenti dari pekerjaan itu.

?Aku tidak mau mencelakakan orang lagi,? terang Mbah Soma ketika aku menanyakan kenapa ia tak lagi menjadi pemain gamelan kuno itu.

?Apa kaitannya dengan berhenti menjadi wiyaga??

?Permainan rebabku mengundang kematian.?

?Maksud Mbah Kung??

Mbah Soma tidak menjawab. Setelah kudesak, akhirnya ia menceritakan hikayat rebab miliknya yang merupakan warisan turun-temurun dari kakek buyutnya. Wareng-ku[2] juga.

?Rebab itu dibuat dari ukiran kayu yang diambil dari pohon sawo di belakang rumah buyutku. Pohon sawo itu sendiri ditanam oleh buyutku sejak masih anak-anak. Dirawat penuh kecintaan selayaknya merawat seorang anak. Begitunya cintanya buyutku kepada pohon sawo itu, seolah-olah pohon sawo itu juga membalas dengan rasa yang sama. Rebab yang dibuat buyutku dari tebangan salah satu dahannya, seperti memiliki nyawa,? tutur Mbah Soma.

?Benarkah seperti itu??

?Iya. Suatu ketika, bapakku, Karta, yang menjadi buruan orang-orang Belanda pergi meninggalkan Desa Kedung Pingit untuk bergabung dengan gerilyawan di hutan Gunung Wilis. Rumah kakek dan buyutku menjadi sasaran kemarahan. Centeng-centeng Belanda membakar rumah mereka. Tidak ada seorang pun kerabat dan tetangga yang berani menolong. Buyutku yang sudah sakit-sakitan meninggal dalam peristiwa menyedihkan itu.?

?Lalu apa hubungan suara rebab itu dengan kematian orang-orang??

?Aku sendiri tidak bisa memecahkannya. Mana mungkin sebuah rebab bisa mengundang kematian,? lanjut Mbah Soma. ?Kakekku yang bercerita, selepas kematian buyutku, rebab warisan itu seperti memendam kemarahan. Setiap kali ia dimainkan, suaranya menebar irama kesedihan sekaligus dendam.?

Begitulah, Mbah Soma sendiri awalnya tidak percaya terhadap kisah tutur kakeknya, bahwa setiap rebab itu dimainkan, selang beberapa hari akan ada kerabat atau tetangga mereka yang meninggal. Tak jarang kematian mereka terkesan mendadak. Bagi Mbah Soma sendiri, cerita itu hanyalah kisah tutur semata, agar rebab tua itu sengaja disimpan rapat-rapat agar tidak rusak, sebab usia rebab itu memang sudah tua.

Namun sebuah peristiwa di tahun 1965 mengubah keyakinan Mbah Soma kepada rebab tua itu.

Malam itu adalah tiga malam setelah Mbah Soma memainkan rebabnya ketika mengiringi pergelaran wayang kulit seorang dalang dari Sragen. Lakon Abimanyu gugur membutuhkan penghayatan tingkat tinggi dalam memainkan irama berlatar kepedihan hati. Semua yang hadir ikut meneteskan air mata ketika gesekan-gesekan rebab Mbah Soma mengiringi gugurnya anak Arjuna oleh krocokan gaman sewu?rajaman ribuan senjata.

Anak lelaki Mbah Soma ikut dalam pergelaran wayang kulit itu, menjalani debutnya sebagai wiyaga kendang muda. Tiga malam setelahnya, tersiar kabar meletus peristiwa Gestapu[3]. Konon yang mendalangi adalah Partai Komunis Indonesia. Semua seniman dipaksa oleh penguasa kala itu untuk membuat pernyataan tidak tergabung dengan Lekra[4]. Anak lelaki Mbah Soma menolak. Konsekuensinya, ia dicap sebagai simpatisan partai berlambang palu arit itu.

?Meskipun semua tuduhkan itu tidak terbukti.? tegas Mbah Soma.

Mbah Soma mengaku bahwa anak lelakinya adalah seorang pemuda yang apolitis. Tak pernah tahu menahu tentang Lekra. Apalagi isu Dewan Jendral. Kedekatan dengan kawan-kawan seniman yang aktif di Lekra membuat namanya dikaitkan dengan gerakan pengkhianatan. Menurut Mbah Soma pula, gejolak perebutan kekuasaan di masa revolusi ketika itu, membuat pemenang konflik politik di negeri ini membabi buta menuntaskan kesumat.

?Darah yang mengalir di tubuhku adalah darah Karta, gerilyawan Kedung Pingit yang menjadi orang nomor satu buruan Belanda. Mana mungkin kami berkhianat kepada republik. Namun tuduhan Lekra itu telah menjadikan anakku bernasib naas.?

Dari penuturan Mbah Soma aku tahu, hari-hari setelah peristiwa Gestapu, Kedung Pingit mencekam. Lebih menakutkan dari masa pendudukan bangsa Rambut Jagung[5] dan Dai Nippon. Tiba-tiba banyak penduduk yang mati terbantai. Saling bunuh terjadi di mana-mana. Siapa tertuding, bisa dipastikan nyawanya akan lenyap. Sulit menerka siapa kawan dan siapa lawan. Hanya ada pilihan: menuduh atau dituduh, membunuh atau dibunuh.

?Aku melihat dengan mata kepala sendiri, anak lelakiku digorok seperti Abimanyu yang dirajam  gaman sewu di tegal Kuru Setra,? lanjut Mbah Soma dengan mata berkaca-kaca. ?Itu sebabnya aku memutuskan tidak akan memainkan rebab lagi.?

Aku yang ganti terdiam. Benak dan perasaanku dihajar kecamuk badai kesedihan.

?Bertahun-tahun aku belajar memainkan rebab, ternyata ia justru membawa petaka bagi banyak orang. Bahkan anakku sendiri. Setelah selesai mewarnai ulang, aku akan menyumbangkan rebab ini ke museum.?

?Mbah Kung tidak sedang salah ucap??

Ia menggeleng. ?Aku akan memberi kelir baru pada rebab ini, sebab sudah luntur peliturnya. Maklum, usia mereka sudah tua. Seumuran wareng-mu. Lumrah kalau mulai pudar.?

Aku kembali mencoba mencari jawaban tentang misteri rebab tua dari cerita panjang yang baru saja dituturkan Mbah Soma. Namun tetap sulit menemukannya. Bagaimana mungkin sebuah benda mati bisa mengundang kematian manusia?

***

Berhari-hari, aku menjumpai Mbah Soma dengan tekun mewarnai ulang rebab yang akan disumbangkan ke museum. ?Setelah aku beri pelitur baru, rebab ini akan terlahir kembali, memulai kehidupan barunya tanpa menebar alunan kematian. Semoga dengan begitu, ia tak meninggkalkan luka di hati tuannya yang lama.?

Para kolektor barang kuno, atau pelestari gamelan buatan lama, tentu sangat menyayangkan jika mengetahui keputusan Mbah Soma. Iya, aku pernah mendengar dari Mbah Soma sendiri bahwa rebab warisan buyutnya, andai dijual bisa bernilai puluhan juta rupiah.

Hingga suatu sore, dua orang perwakilan dari museum yang akan menerima hibah rebab berusia ratusan tahun itu datang ke rumah Mbah Soma.

?Kapan kira-kira proses penyerahan benda bernilai sejarah tinggi ini akan Mbah Soma lakukan?? tanya salah satu perwakilan museum itu.

Sesaat Mbah Soma diam. Ia seperti menghitung angka-angka yang bertumpuk di kepala. ?Aku butuh waktu sekitar seminggu untuk menyelesaikannya.? Kepada tamunya, Mbah Soma menunjuk ke arah rebab yang tergantung di dinding papan rumahnya. Berdampingan dengan sebuah wayang kulit Abimanyu.

?Sebenarnya kami masih terkejut dengan rencana ini. Kenapa Mbah Soma tidak menjualnya saja??

?Bertahun-tahun aku hidup bersamanya. Ia sudah menemani buyut dan kakekku sejak mereka masih hidup. Aku tidak tega jika ia jatuh ke tangan orang yang tidak bisa merawatnya.?

Tamu-tamu itu mengangguk-angguk mendengar pengakuan Mbah Soma.

***

Dua hari setelah perwakilan museum melakukan kunjungan, siang itu dari pengeras suara langgar Desa Kedung Pingit tersiar kabar bahwa modin dongkol?pensiunan pamong desa bidang keagamaan?Mbah Modin Said meninggal. Aku bergegas menyiapkan cangkul dan linggis, keperluan yang biasa dibawa Mbah Soma ke pemakaman jika ada orang yang meninggal.

?Beritahu kepada Modin Jali?maksudnya Al Ghozali, modin Desa Kedung Pingit sekarang? aku tidak bisa menggali liang untuk jasad Modin Sangid?maksudnya Said, lidah orang Jawa biasa melafalkan huruf ain dengan ucapan ngain,? ucap Mbah Soma.

Puluhan tahun menjadi penggali kubur, baru kali ini Mbah Soma menolak pekerjaan yang sudah lama digelutinya tanpa imbalan bayaran.

?Kenapa??

?Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin beristirahat saja.?

?Bagaimana caranya aku mengatakan kepada Modin Jali tanpa alasan??

?Modin Sangid seorang pemuka agama terhormat. Tidak pantas kalau orang abangan?sebutan golongan masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi kepercayaan leluhurnya, meski sudah memeluk islam?sepertiku ikut mengurus jasadnya.?

Mbah Soma menjawab dengan suara serak dan patah-patah. Aku perhatikan raut mukanya. Kulihat ia sedang memandang jauh dengan tatapan kosong.

Aku tahu, ada bagian yang tak diucapkan oleh Mbah Soma ketika menjawab pertanyaanku tadi. Bagian yang sebenarnya pernah aku dengar dari kasak-kusuk tetangga. Sudah lama Mbah Soma menghindari srawungan[6] dengan Mbah Modin Sangid?orang yang ikut membantai anak lelakinya, Ongkowijoyo[7], setelah peristiwa Gestapu 1965 di Kedung Pingit. (*Heru Sang Amurwabumi ? Nganjuk)

 

Catatan kaki:

  1. Wiyaga = Pemain gamelan Jawa. Rebab = Alat musik gesek tradisional Jawa.
  2. Nasab keturunan kelima jika ditarik ke atas.
  3. Gestapu = Gerakan September Tiga Puluh.
  4. Lekra = Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia.
  5. Bangsa Rambut jagung = Sebutan untuk bangsa-bangsa Eropa.
  6. Srawungan (bahasa Jawa) = Berkomunikasi; kumpul; tegur sapa.
  7. Ongkowijoyo = Nama lain Abimanyu, anak Arjuna dalam kisah wayang kulit.
Leave A Reply

Your email address will not be published.