Berita Nasional Terpercaya

Kisah Tentang Pakdhe

0

Bernas.id – Saya sedang minum air putih dalam kemasan ketika Pakdhe bercerita dengan semangat kepada prunan-prunannya, termasuk saya. Saat hari lebaran tiba, keluarga besar kami memang diwajibkan berkumpul di rumah ini, sesibuk apapun kami semuanya. Anak kakek dan nenek ada delapan dan sudah menikah semua. Sementara cucunya ada empat belas, dan buyutnya ada tiga. Total ada tiga puluh tujuh orang lengkap dengan kakek dan nenek, itu kalau saya tidak salah hitung.

Karena nilai Matematika saya selalu jelek semenjak SD, saya jadi ragu-ragu saat menyatakan sesuatu yang berkaitan dengan hitungan atau angka-angka. Tapi, abaikan saja itu. Yang tadi ingin saya katakan adalah, setiap tahun kakek dan nenek pasti menyewa sebuah tenda besar yang dipasang di depan rumah ini. Seperti orang mau hajatan itulah.

Alih-alih menggunakan fasilitas yang telah disediakan, seperti tahun-tahun sebelumnya Pakdhe selalu mengajak para prunan membuat lingkaran kecil di dekat meja makan depan bifet televisi rumah kakek dan nenek. Alasannya, Pakdhe tidak mau menjadi perhatian orang-orang lain saat mereka kebetulan lewat depan rumah kakek dan nenek.

Sebagai prunan tertua yang belum menikah, saya selalu dipaksa Pakdhe untuk mengikuti perkumpulan itu. Meskipun saya sudah hafal semua cerita Pakdhe di luar kepala, karena ceritanya hanya itu-itu saja. Tapi, adik-adik sepupu saya entah bagaimana selalu terlihat antusias mendengarkan cerita-cerita Pakdhe. Tentang betapa hebat pekerjaannya, para pahlawan yang dulu membangun negeri ini, kekonyolan ayah atau ibu mereka sewaktu kecil, sampai seloroh-seloroh yang hanya dipahami oleh Pakdhe sendiri. Jadi, saat Pakdhe tertawa tapi para punan tidak paham apa yang Pakdhe tertawai, mereka hanya bisa menirukan tawa Pakdhe dengan ekspresi yag dibuat-buat.

Mungkin, saya adalah prunan kesayangan Pakdhe. Buktinya, waktu itu saya pernah diundang ke rumah Pakdhe hanya untuk mendengarkan sebuah pengakuan yang katanya tak pernah dibagi kepada siapa pun. Hanya pada saya. Kata Pakdhe, ia tidak suka minum kopi. Setidaknya setelah resmi menjabat sebagai anggota elit yang bekerja di gedung yang menurut saya aneh itu.

Sekali waktu saya pernah melewati gedung tempat Pakdhe bekerja. Sebenarnya agak sangsi juga menyebut bagunan yang lebih mirip seperti bathok kura-kura itu sebagai salah satu gedung prestisius di negeri ini. Karena saya justru melihatnya lebih mirip gedung teater atau museum. Tapi, kata Pakdhe orang-orang penting yang mengatur negara ini bekerja di sana. Saat saya bertanya pada Pakdhe apakah ia salah satu dari mereka, ia tersenyum lebar sekali, lalu menyesap sirup bikinan Budhe.

Tapi saya masih tidak habis pikir pada arsitek yang merancang bangunan tersebut. Seberapa istimewanya filosofi bathok kura-kura sehingga terpilih menjadi desain terbaik untuk gedung penting itu?

Saat menanyakan hal itu pada Pakdhe, ia menjelaskan panjang lebar sejauh yang ia ketahui serta berdasarkan informasi dari para pendahulunya. Kata Pakdhe, bentuk bangunan tempatnya bekerja itu awalnya dicetuskan oleh presiden pertama negeri ini. Ia menyalahkan saya yang mengatakan bahwa gedung tempatnya bekerja itu mirip bathok kura-kura (atau lebih jorok lagi, bentuk bokong orang tengkurap). Karena faktanya, justru desain bangunan tersebut didasarkan pada budaya Hindu kuno. Sebenarnya ada satu gedung lagi yang seolah menjadi ?pasangan? bagi gedung tersebut. Bentuknya serupa menara yang menjulang tinggi menantang langit dengan hiasan ratusan kilogram emas di puncaknya.

Kalau gedung tempat Pakdhe bekerja melambangkan Yoni, maka menara itu melambangkan Lingga. Secara sederhana, keduanya merepresentasikan peran sepasang orangtua. Di mana Yoni adalah sesuatu yang dimiliki ibu di bawah perut. Dan Lingga adalah juga sesuatu yang dimiliki ayah di bawah perut. Saya heran sendiri ketika mengetahui fakta itu.

Dulu, pemimpin pertama negeri ini sangat berharap kepada anak cucu dan para penerusnya agar bisa menjaga negeri ini dengan baik. Dimana, Yoni melambangkan filosofi ibu sebagai orang yang melahirkan anak. Dalam hal ini, anak yang dimaksud berupa peraturan-peraturan (yang kebanyakan cenderung mengekang rakyat negeri ini). Sedangkan Lingga, melambangkan filosofi seorang ayah yang bisa melindungi anak-anaknya. Makanya tak heran kalau lokasi pembangunan Lingga berada di dekat Istana M.

Namun demikian, saya masih belum bisa menemukan keterkaitan antara profesi Pakdhe dan kenapa ia jadi tidak suka minum kopi. Lalu Pakdhe menjawab. Karena kopi membuatnya terjaga lebih lama. Dan ia tidak suka itu.

Saat Budhe datang membawakan camilan, saya lantas bertanya juga padanya. Barangkali penjelasan Budhe tidak bertele-tele dan tidak lari dari topik utama. Kata Budhe, sebenarnya kopi adalah masa lalu Pakdhe saat masih bujang dulu. Saat nyalinya masih besar menantang penguasa. Saat jiwa pejuangnya masih membara. Saat ia dan sahabat-sahabat seorganisasinya rela tidak tidur berhari-hari demi memikirkan hak rakyat yang terampas. Tentu saja, saat itu kopi dan mungkin batang-batang kretek menjadi karib mereka.

Lalu kenapa saat ini Pakdhe tidak suka minum kopi?

?Pakdhe mau prank saya, ya??

Budhe yang tadi membuka kartu, kembali ke dapur dengan tawanya yang masih bisa saya dengar dari kejauhan. Kedua bahunya berguncang naik dan turun karena tertawanya yang belum selesai-selesai itu.

Karena sudah kepalang basah, Pakdhe akhirnya bicara lagi, mengonfirmasi kebenarannya. Kata Pakdhe, ia memang tidak suka minum kopi sekarang. Ia justru lebih suka teh atau sirop. Bukan karena kopi itu pahit, atau teh dan sirop manis. Kopi juga bisa manis, asal saat membuatnya ditambahi gula banyak-banyak daripada bubuk kopinya.

Namun, Pakdhe tidak lagi menyukai kafein karena ia jarang melembur pekerjaan atau memikirkan hak rakyat secara sungguh-sungguh seperti saat ia muda dulu. Itu bisa dikerjakan esok hari, katanya. Jadi, Pakdhe lebih suka tidur awal meskipun tetap jarang bangun pagi. Bukan karena tidak ada alarm atau suara Budhe yang membangunkannya. Tapi barangkali karena mimpi Pakdhe sangatlah indah sampai ia lupa untuk bangun.

Pakdhe melanjutkan ceritanya lagi. Saya dibawanya kembali ke masa lalu ketika ia masih seorang pemuda. Katanya, dulu ia memang pernah bersahabat dengan kopi, yang juga menjadi sahabat dari sahabat-sahabatnya. Tapi sekarang, hubungan mereka tak bisa sedekat dulu lagi. Saya menyimpulkan bahwa kopi adalah mantan sahabat Pakdhe, lalu ia tertawa sambil bersendawa mendengarnya.

Masih dalam cerita Pakdhe, dulu saat ia masih menjabat sebagai petinggi sebuah organisasi di kampusnya, segelas atau secangkir kopi itu ibarat hanya untuk berkumur saja. Makanya tak cukup sekali minum. Jadi, saat Pakdhe dan sahabat-sahabatnya sedang asyik membahas isu terbaru dan terpanas soal penguasa yang mencederai hak rakyat, mereka bisa menenggak bergelas-gelas atau bercangkir-cangkir kopi dan terjaga bermalam-malam. Memikirkan strategi terbaik untuk kembali memperjuangkan hak rakyat.

Ya, tapi itu dulu. Sekarang, Pakdhe sudah jarang bahkan tak pernah lagi bercengkrama dengan kopi. Membaui aromanya pun ia hampir muntah. Sejak fotonya terpampang di baliho-baliho pinggir jalan, dan banyak orang mengelu-elukannya, Pakdhe sudah mulai menjauhi kopi. Lebih-lebih sekarang, setelah ia benar-benar bekerja di gedung ber-AC dengan kursi empuk dan meja dari kayu beralas kaca yang seperti tertanam di lantai itu. Menggantikan para penguasa yang dulu habis-habisan ia dan sahabat-sahabatnya kritik.

Bagaikan kacang melupakan kulitnya, Pakdhe juga bilang kalau kopi hanyalah minuman untuk para pecundang. Saya hampir tersedak karena sedang memakan permen kopi agar tidak mengantuk mendengarkan cerita Pakdhe. Lalu saya memilih untuk menelannya saja dan menenggak segelas sirop. Seperti minum obat saja.

Mungkin Pakdhe lupa, bahwa berkat kopi, ia bisa mencapai posisinya yang sekarang. Berkat melobi-lobi koneksi dan menawarkan janji-janji kalau ia akan memperjuangkan hak rakyat tinggi-tinggi, Pakdhe akhirnya terpilih menjadi salah satu orang yang kini duduk di kursi empuk itu, menjadi anggota elit yang katanya bekerja mewakili suara rakyat.

Suatu hari Bapak menginginkan saya menjadi penerus Pakdhe agar membuat bangga keluarga. Bekerja di gedung yang penuh makna filosofis, berpakaian mewah, diberi kendaraan gratis, dan banyak fasilitas lainnya yang kelak akan membuat saya terlihat mentereng. Ya, mungkin Bapak hanya tidak tahu darimana semua fasilitas yang katanya pemberian itu dibeli dengan sedikit uang kerja kerasnya juga.

Leave A Reply

Your email address will not be published.