Cerita Kakekku Tentang Perempuan dalam Pusaran Konflik Penguasa

Bernas.id – Somadireja. Orang-orang Kedung Pingit?sebuah desa di kaki Gunung Pandan?menyebutnya Mbah Soma. Aku memanggilnya kakek, sebab dia memang bapak dari simbokku. Selain dituakan di desa kami, dianggap sesepuh sebab konon jika ditarik sampai garis keturunan kesekian belas masih memiliki darah dari trah Kasunanan Kartasura, kakekku itu juga dikenal sebagai pendongeng ulung. Dia memang gemar bercerita. Dongeng dan kisah-kisah tutur leluhur dari masa ke masa, yang diceritakan kembali oleh kakekku terasa semakin hidup sebab selalu ada nasihat bijak yang dia sisipkan di akhir cerita.
Seperti halnya hari ini, pengujung pekan yang membawaku kembali mendengarkan sebuah cerita yang kakek kisahkan ketika aku sedang menjenguknya.
Malam itu adalah malam ketujuh Raja Amangkurat meniduri mayat Ratu Malang di makam yang sengaja tidak ditutup. Sudah tujuh malam seluruh anggota kerajaan menjadi gusar melihat tingkah laku raja. Kondisi politik kerajaan tidak stabil dan rakyat mengalami krisis. Meskipun demikian, malam ini adalah malam yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh penghuni kerajaan. Sebelum meniduri mayat istrinya, Raja pernah berkata bahwa kelak pada puncak malam ketujuh kematian istrinya, dia akan keluar dari makam dan menjalankan tugasnya kembali sebagai Raja Mataram. Hal itu karena ia masih ingat benar kutukan Ratu Malang, sebelum sang ratu memejamkan mata untuk selama-lamanya.
Tepat pada malam ketujuh, seluruh penghuni kerajaan beserta para Abdi Dalem bersimpuh di hadapan makam Ratu Malang. Mereka menunggu keluarnya raja. Sesekali, satu dua abdi dalem yang tidak sabar, melirik ke arah langit. Mereka berharap agar purnama meninggi sehingga malam lekas berganti. Perlahan tapi pasti, purnama memang memanjat ke puncak langit. Ketika purnama tepat berada di atas ubun-ubun kepala mereka, Raja keluar dari makam istrinya. Pakaiannya lusuh, wajahnya sedikit kumal, dan matanya berkantung.
?Nayatruna! Yudakarti!? teriaknya.
Kedua abdi dalem kerajaan yang sudah lama dipercaya oleh raja itu pun langsung menghadap raja dan mengambil posisi bersujud sempurna.
?Aku memerintahkan pada kalian untuk pergi ke tempat yang sumber airnya bersih untuk mencari wanita yang kecantikannya setara dengan istriku!? pinta raja.
?Baik, Ndoro!? jawab Nayatruna dan Yudakarti kompak.
***
Dari semua tugas yang diberikan oleh raja, ini adalah tugas terberat bagi Nayatruna dan Yudakarti. Meskipun demikian, mereka harus menuruti perintah sang raja karena mereka tahu betul konsekuensi yang harus ditanggung apabila misi ini gagal.
?Yud, kamu masih ingin leher dan badanmu ini jadi satu, kan?? ujar Nayatruna.
?Hush! Kamu bilang apa? Ya masih ingin toh!? tegas Yudakarti.
?Makanya jangan malas-malasan, ayo kita jalan lagi! Mencari lagi!? ajak Nayatruna.
Yudakarti yang kelelahan pun tak mampu menolak. Dia tahu sesungguhnya Nayatruna juga kelelahan, tapi misi yang diberikan oleh raja lebih penting untuk keselamatan mereka. Sebelum melanjutkan perjalanan, Yudakarti meminta satu syarat pada Nayatruna. ?Izinkan aku mandi dulu di sungai itu, udara di sini sangat panas sekali!?. Nayatruna pun mengangguk. Tidak ada salahnya memang untuk mandi di cuaca yang sepanas ini. Perjalanan sudah ditempuh cukup jauh dan baru kali ini mereka menemukan sungai yang bersih. Nayatruna dan Yudakarti pun sepakat untuk mandi sejenak di sungai itu.
?Bapak, ada dua orang telanjang di sungai!? teriak seorang anak wanita yang pergi ke arah rawa-rawa. Mendengar teriakan itu, Nayatruna dan Yudakarti pun langsung mengambil pakaiannya dan berpakaian kembali. Mereka tidak menyadari keberadaan gadis kecil itu dan masih mencari sumber suara.
?Hei anak muda! Apa yang kalian lakukan?? Tiba-tiba suara itu muncul dari balik rawa-rawa diikuti dengan sesosok laki-laki berbadan gempal dan berambut panjang sampai ke bahu. Di balik kaki laki-laki itu bersembunyi seorang anak gadis. Sesekali dia mengintiip untuk menengok ke arah Nayatruna dan Yudakarti. Melihat kecantikan anak gadis itu, Nayatruna dan Yudakarti langsung bersimpuh dan mengutarakan niatnya.
?Kami adalah abdi dalem Raja Amangkurat yang diutus untuk mencari seorang wanita dari sumber air bersih, untuk dijadikan sebagai istri raja! ucap Nayatruna.
?Bangunlah, Nak. Aku adalah Ki Ngabei Mangunjaya. Mari kita bicarakan niat baikmu itu di rumahku!? ucap lelaki itu.
Ki Ngabei Mangunjaya merupakan salah seorang bangsawan Kadipaten Surabaya. Ketika tidak sedang bertugas, dia sering sekali mengajak anaknya, Sahoyi untuk bermain di Kali Mas, tempat Nayatruna dan Yudakarti mandi. Pertemuan ini merupakan pertemuan yang diidam-idamkan oleh Ki Ngabei. Dia berharap agar anak gadisnya yang cantik jelita dinikahi oleh orang yang berasal dari keluarga kerajaan. Sesampainya di rumah Ki Ngabei, Nayatruna dan Yudakarti disambut baik. Mereka diberikan pakaian yang layak dan makanan yang lezat.
?Anak muda, sesungguhnya anak gadisku masih belum menstruasi dan senang bermain-main, apakah benar Raja Amangkurat mau menerimanya?? tanya Ki Ngabei.
Mendengar perkataan itu, Yudakarti menjawab, ?Tenang saja, Ndoro. Kami akan bawa Sahoyi ke kerajaan Mataram untuk kami perlihatkan pada raja. Kalau melihat kecantikan Sahoyi seperti ini, pasti raja akan terpikat?.
Mereka bertiga lalu tertawa terbahak-bahak. Jamuan pun dilanjutkan dengan minum arak terbaik yang dimiliki oleh Ki Ngabei untuk menjamu tamu. Malam pesta pora. Sorak sorai meriah. Keesokan harinya, Sahoyi dibawa oleh Yudakarti dan Nayatruna ke kerajaan Mataram.
***
?Luar biasa! Sungguh hebat kalian! Tidak salah aku memilih kalian menjadi abdiku yang utama!? ucap Raja Amangkurat sembari tertawa dan melemparkan kantung berisi emas pada Nayatruna dan Yudakarti yang bersimpuh di hadapan Raja.
?Maaf, Ndoro. Anak gadis ini belum menstruasi, Ndoro,? ucap Yudakarti mengawali.
?Iya, Ndoro. Kiranya Ndoro bersedia menunggu hingga dia matang? sahut Nayatruna perlahan.
Mendengar perkataan itu, raja menghentikan gelak tawanya. Dia bangkit berdiri sambil menatap ke arah langit-langit kerajaan. Dia terdiam cukup lama hingga diarahkan kedua bola matanya yang tajam pada Ngabehi Wirarejo, pembesar kerajaan sekaligus sahabatnya.
?Kakanda Wirarejo, kiranya engkau mau untuk mendidik anak gadis ini. Ajarilah dia tentang adat dan tata cara hidup di kerajaan ini, terlebih persiapkanlah dia untuk menjadi istriku. Kelak aku akan mengambilnya!? titah Raja.
Ngabehi Wirarejo pun bersedia mendidik Sahoyi. Gadis cantik yang teramat cantik itu lalu dibawanya pulang. Dia dididik dengan penuh kasih sayang oleh keluarga Ngabehi Wirarejo. Tak jarang anak dan kemenakan Ngabehi Wirarejo berkunjung mengunjungi Sahoyi dan mengajaknya main. Namun, Ngabehi Wirarejo memperingatkan agar Sahoyi tidak pergi terlalu jauh. Dia khawatir kecantikan Sahoyi mampu memikat hati para pendekar dan ksatria di luar kerajaan Mataram. Sahoyi tumbuh sebagai gadis periang dan kecantikanya tetap terjaga karena dididik oleh keluarga yang sangat memperhatikan kesehatan dan kebahagiaanya.
***
Jejak waktu semakin lama semakin maju. Matahari berlompatan di langit silih berganti, bergantian bersama rembulan yang sesekali malu dan menyembunyikan pendarnya di balik awan. Puluhan bunga berguguran dan bermekaran melengkapi satu sama lain. Aromanya wangi, sewangi aroma tubuh Sahoyi yang mulus terawat dan telah menjadi dewasa.
Setiap sore, sembari menatap senja, Sahoyi diajari membatik oleh istri Wirareja di pendopo dekat rumah. Sore itu, Sahoyi datang lebih awal. Dia ingin menunjukkan pada istri Wirareja tentang kemahirannya dalam membatik. Ia berencana memberi kejutan agar ibu yang mengasuhnya selama ini bangga padanya. Tangannya asik membatik di kain yang terlentang dihadapannya hingga dia tidak sadar ada lelaki yang sejak tadi mengamatinya sembari menunggang kuda.
?Raden Mas Rahmat, oh Raden Mas Rahmat selamat datang,? ujar istri Wirareja. Dia meletakkan peralatan batiknya menuju pada seorang pangeran yang mematung dan belum turun dari kudanya. Melihat hal itu, Sahoyi pun jadi kaget. Istri Wirareja tidak berjalan ke arahnya tapi ke arah pangeran tampan itu.
Sahoyi pun mengikuti dari belakang istri Wirareja dan mereka berdua berhenti di hadapan Raden Mas Rahmat.
?Siapakah gerangan Adinda?? tanya Raden Mas Rahmat. Mata lelaki itu masih tertuju pada Sahoyi.
?Nduk, ayo segera perkenalkan dirimu pada Raden Mas!? ucap istri Wirareja pada Sahoyi.
Raden Mas Rahmat turun dari kuda. Mereka berdua pun saling berkenalan.
Perkenalan senja itu membawa pada pembicaraan-pembicaraan selanjutnya. Raden Mas Rahmat yang selama ini pemurung karena kegagalan cintanya pada putri Kasultanan Cirebon, kini menjadi bergairah kembali. Setiap hendak berangkat ke rumah Wirareja, Raden Mas selalu mandi kembang dan mengenakan baju-baju terbaiknya. Sepulang dari rumah Wirareja, Raden Mas pun langsung berlatih pedang dan memperdalam ilmunya. Porsi makananya pun juga menjadi banyak setelah berbulan-bulan dia tidak mau makan.
Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari, kakek-nenek Raden Mas Rahmat sangat senang melihat perubahan positif yang dialami cucunya setelah mengalami kegagalan cinta. Selama ini Raden Mas Rahmat diasuh oleh kakek neneknya karena ibunya merupakan salah satu istri Raja Amangkurat yang harus senantiasa siap melayani Raja.
Dalam kerajaan Mataram, Raden Mas Rahmat punya posisi yang cukup penting. Dia digadang-gadang menjadi pewaris takhta Raja Amangkurat karena kecerdasan, kesaktian, dan kewibawaannya di usia muda. Melihat perkembangan Raden Mas Rahmat yang begitu luar biasa. Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari mencoba mengulik rahasia cucunya itu. Ternyata mereka menemui jawaban bahwa Raden Mas Rahmat sedang jatuh cinta pada Sahoyi.
Mendengar pengakuan cucu yang paling disayanginya, Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari mencoba memutar otak agar Sahoyi jatuh ke pelukan Raden Mas Rahmat. Mereka sesungguhnya tahu atas konsekuensi yang dihadapi apabila Raja mengetahui bahwa salah satu puteranya mencintai calon Ratu Kerajaan.
***
?Wirareja sudahlah! Jangan keras kepala! Seluruh hartaku dan segala kekayaan ini sudah kuserahkan padamu! Ah masak kau tak mengerti juga! Biarkanlah Sahoyi menikahi cucuku!? ujar Pangeran Pekik.
?Ampun, Ndoro Tuan. Bukan berarti saya bermaksud melanggar perintah Ndoro, tetapi baginda Raja ber…? belum sempat Wirareja melanjutkan perkataanya, Pangeran Pekik menyahut.
?Sahoyi! Raden Rahmat! Apakah kalian berdua saling mecintai??
Mendengar pertanyaan yang disampaikan oleh Pangeran Pekik, Sahoyi dan Raden Mas Rahmat yang berada dalam forum para orangtua itu pun angkat bicara.
?Kami saling mencintai? ucap Raden Mas Rahmat.
?Saya siap memberikan seluruh diri saya sebagai wujud kesetiaan pada Kakanda Mas Rahmat!? ucap Sahoyi menimpali.
?Baik sudah cukup! Kau dengar sendiri kan Wirareja kesaksian dari mereka berdua? Apakah kau mau memisahkan kedua insan yang telah dipersatukan ini?? ujar Pangeran Pekik pada Wirareja dan istrinya.
Mendengar perdebatan itu, luluh hati Wirareja. Sebagai seorang pengasuh, dia sesungguhnya menganggap Sahoyi seperti anak sendiri. Ia juga tahu wajah Sahoyi berbinar-binar dan semakin cantik apabila bertemu dengan Raden Mas Rahmat.
Keluarga Wirareja dan Pangeran Pekik pun menyusun siasat untuk menikahkan Raden mas Rahmat dan Sahoyi secara diam-diam dengan cara melarikan mereka berdua jauh-jauh dari wilayah Mataram.
***
Tibalah hari pengambilan Sahoyi untuk dijadikan istri oleh Raja Amangkurat. Dengan rombonganya datanglah Raja ke rumah Wirareja. Nahas, alangkah terkejutnya Raja ketika melihat Sahoyi tidak ada di rumah Wirareja. Sesungguhnya, Raja Amangkurat sudah tahu tentang penculikan Sahoyi dari kabar yang berembus di kalangan kerajaan. Namun, dia tidak percaya pada kabar yang diembuskan para abdi dalem. Raja Amangkurat lebih mempercayai Wirareja yang merupakan sahabat karibnya sejak lama.
?Kepercayaanku padamu luntur sudah Wirareja, kau telah mengkhianati sekaligus menyakitiku, sahabatmu sendiri!? ujar Amangkurat sembari menunjukkan punggungnya pada Wirareja dan istrinya yang bersujud mohon pengampunan.
?Habisi mereka sehabis-habisnya!? teriak Amangkurat pada para pasukan yang sedari tadi sudah bersiap siaga di depan rumah Wirareja.
Pasukan jitu yang sudah terlatih itu pun masuk ke kediaman Wirareja. Bengis dan sadis mereka membantai habis Wirareja dan sanak saudaranya. Kira-kira empat puluh pengawal yang bersiap di rumah Wirareja pun tidak ada bandinganya apabila dibandingkan dengan jumlah pasukan dari Amangkurat.
Setelah membantai habis keluarga Wirareja, Raja Amangkurat pun menuju kediaman Pangeran Pekik. Sesampainya di rumah Pangeran Pekik. Raja melihat mertuanya duduk semedi seolah menanti kehadirannya.
Raja mengangkat kerisnya ke atas. Sejenak kemudian, para pendekar berbaris rapi di kanan kiri sang raja. Keris itu dilemparkan ke arah Pangeran Peking sembari berteriak, ?Hancurkan!?
Seketika itu para pendekar menyerang Pangeran Pekik yang duduk bersila. Pangeran Pekik berhasil menangkis keris lemparan Raja tapi dia tak berhasil melawan pendekar pendekar kerajaan yang memiliki kesaktian luar biasa. Dalam hitungan sekejap, Pangeran Pekik pun berhasil dipatahkan lehernya.
Ratu Pandansari, istri Pangeran Pekik menangis meronta ronta melihat kematian suaminya. Dia menangis di pintu rumahnya dan tak berani keluar. Raja Amangkurat pun meminta pasukanyaa menyalakan obor dan membakar selisi rumah Pangeran Pekik, termasuk Ratu Pandansari yang terpanggang hidup-hidup.
***
Berita tentang kematian keluarga Wirareja dan Pangeran Pekik pun akhirnya sampai juga di telinga pasangan suami istri Raden Mas Rahmat dan Sahoyi. Raja semakin lama semakin brutal. Dia mencari Raden Mas Rahmat dan Sahoyi ke berbagai desa. Memang Raden Mas Rahmat dan Sahoyi mahir bersembunyi tapi hari demi hari mereka semakin tidak tega mendengar berita pembakaran dan penjarahan desa oleh pasukan kerajaan.
?Butuh berapa nyawa lagi Kakanda demi cinta kita?? ucap Sahoyi pada suatu malam dalam dekapan Raden Mas Rahmat.
?Aku tidak tahu Adinda, Raja Amangkurat ternyata sekeji itu. Dia bahkan tega membantai rakyatnya sendiri hanya demi menuruti ambisinya? ujar Raden Mas Rahmat.
Malam itu begitu sendu bagi sepasang suami istri yang rajin membakar api asmara dalam setiap persembunyiannya. Namun tidak saat itu. Mereka berdua sangat terdiam dalam permenungan yang teramat dalam, bahkan kepak sayap kunang-kunang pun dapat melintas di telinga mereka.
Keesokan harinya, Raden Mas Rahmat dan Sahoyi memilih untuk menunggang seekor kuda menuju ke arah kerajaan. Sekali dua kali kuda yang mereka tunggangi terlihat berontak gelisah, tapi mereka tetap memacu laju kuda itu. Di sepanjang jalan kerajaan, mereka melihat sayembara yang menyatakan bahwa Raja akan memberikan hadiah bagi siapapun yang berhasil membawa Raden Mas Rahmat dan Sahoyi ke kerajaan baik hidup atau mati. Namun mereka tidak peduli.
Kuda semakin cepat melaju hingga sampailah mereka pada pintu gerbang kerajaan. Pintu gerbang pun dibuka dan puluhan anak panah menyerbu menghunus kuda yang mereka tunggangi. Raden Mas Rahmat dan Sahoyi pun jatuh tersungkur. Melihat kejadian itu, Raja Amangkurat tertawa terbahak-bahak.
?Akhirnya kalian datang juga wahai pengantin baru!? ucap Raja sembari bertepuk tangan.
Raden Mas Rahmat dan Sahoyi hendak bangun tapi di belakang mereka sudah ada pasukan kerajaan yang menendang kaki mereka sehingga mereka berdua tetap dalam posisi berlutut. Raja Amangkurat turun dari altar singgasananya dan menghampiri mereka. Dia menendang muka Raden Mas Rahmat dan menampar Sahoyi, lalu tertawa lagi.
?Tak kusangka, Putra Mahkota kerajaan yang paling kubanggakan melakukan ini padaku. Hebat! Luar biasa!? ucap raja. Bogem mentah diarahkan dua kali pada pipi kanan dan pipi kiri Raden Mas Rahmat. Hidung mancung Raden Mas pun mengucurkan darah segar.
?Cukup Raja! Apa yang kau inginkan?? ujar Sahoyi.
Raja terdiam sejenak setelah mendengar perkataan Sahoyi. Ia lalu melangkah ke arah Sahoyi dan meludahi wajahnya. Telapak tangan kanannya menegang lalu meluncur deras di pipi kiri Sahoyi hingga bibirnya lecet dan berdarah.
?Pengecut kau melukai wanita!? ucap Raden Mas Rahmat.
Mendengar omongan kasar itu, salah satu pasukan yang menjaga Raden Mas Rahmat langsung memecut punggung Raden Mas dengan cemeti yang diselimuti serpihan mata pedang. Raden Mas Rahmat pun mengerang kesakitan lalu tersungkur ke tanah.
?Sudah! Hentikan! Langsung saja katakan apa yang kau inginkan!? ucap Sahoyi.
Raja Amangkurat terdiam sejenak. Dia mengambil tiga langkah menjauh dari kedua orang yang disiksanya itu lalu berkata, ?Rahmat anakku, kuberikan kau dua pilihan. Pertama, bunuhlah Sahoyi, atau kedua kau tidak kuakui sebagai anakku dan kau tak berhak jadi Raja!?
Mendengar perkataan itu, hati Raden Mas Rahmat gusar. Tentu saja dia tak tega membunuh Sahoyi yang dicintainya. Di sisi lain dia juga tak tega apabila takhta kerajaan jatuh ke tangan putra raja yang tak becus memimpin kerajaan. Pilihan yang sangat sulit bagi hidupnya.
Mendengar pilihan itu. Sahoyi langsung merangkak ke arah Raden Mas Rahmat. Para pasukan hendak mencegahnya tapi Raja berkata, ?Sudah biarkan!?
Sahoyi merangkak mendekat pada Raden Mas Rahmat. ?Kakanda, izinkan aku tidur di pangkuanmu!? ujar Sahoyi.
Raden Mas Rahmat pun memangku kekasihnya yang sangat dia cintai itu. Dia membelai rambut kekasihnya. Seketika itu pula, tangan kanan Sahoyi merangkul leher Raden Mas Rahmat dan mendekatkan ke bibirnya. Di sisi lain tangan kirinya berusaha meraih telapak tangan Raden Mas Rahmat dan mengambil keris yang disarungkan Raden Mas Rahmat.
?Lakukanlah Sayang, seperti kesepakatan kita kemarin malam,? ujar Sahoyi.
Perlahan tapi pasti, keris yang digenggam oleh Raden Mas Rahmat menghunus perut Sahoyi. Dalam kondisi dipangku sembari saling bercumbu, Raden Mas Rahmat membunuh Sahoyi di hadapan ayahnya, Raja Amangkurat.
Semenjak peristiwa itu, Raja Amangkurat dan Raden Mas Rahmat seperti orang gila. Raden Mas Rahmat tetap tak bisa menjadi raja karena dibuang ke Lipura. Seluruh harta kekayaan dan segala benda pusakanya dihancurkan oleh Amangkurat. Kekejian Amangkurat semakin menjadi-jadi. Siksaan dan aneka hukuman kejam dijatuhkan pada rakyatnya. Bencana alam datang silih berganti, pemberontakan dari berbagai wilayah pun datang tak terelakkan lagi. Pudarnya rasa cinta di Kerajaan Mataram sekaligus melunturkan kekuasaan Amangkurat I di kerajaan Mataram. Ini semua karena kutukan Ratu Malang.
Mbah Soma mengakhiri ceritanya dengan sebuah pesan, ?Sejarah seperti sebuah siklus. Ia akan kembali terulang pada sebuah titik masa. Bisa sekarang, besok, atau entah kapan. Maka tak ada yang lebih elok bagi kita selain belajar dari kisah-kisah tutur leluhur. Banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik, Cung.?
Aku tak menjawabnya. Tak bermaksud apa-apa selain mencoba menyesap saripati dari ucapan kakekku itu. Dalam hati aku mengiyakannya, ?Negeri ini dari masa ke masa tak pernah lampus oleh pertikaian untuk memuaskan syahwat kursi kekuasaan dan perempuan.? (*Ardi Wina Saputra – Pelangi Sastra Malang)