Berita Nasional Terpercaya

Kisah Permen-Permen

0

Bernas.id – Anak itu saban hari mengenggam gula-gula oval warna-warni. Tangannya mungil selaras dengan badannya yang kecil. Satu genggaman penuh itu dibawanya berlari-lari mengejar temannya. Terkadang satu dua permen jatuh menyapa tanah tanpa ia sadari. Bahkan jika anak kecil itu menyadarinya, ia rela meralat larinya dengan langkah yang sangat pelan dan teliti. Mereka?anak kecil dan permennya?seperti pasangan puteri dan pangeran dalam dongeng kerajaan yang tak akan bisa dipisahkan, walau ibu dan saudara-saudaranya membuat seribu cara supaya pertemuan mereka tak terjadi. Bedanya dengan yang ini, hanya sang ibu yang akan melakukan aksi itu.

Ibunya terlalu sering mengoceh oleh ulah anaknya. Ia tak pernah berhenti memasukkan gula-gula itu ke dalam mulutnya. Dimulai dari pagi dalam perjalanan menuju sekolah, seterusnya pengulangan setiap lima menit sampai sore, dan saat malam dengan diam-diam. Sudah tak mempan sorot tajam mata ibunya, tak berpengaruh juga penjelasan-penjelasan sebab akibat permen bagi gigi. Apalagi teori bahaya memakan terlalu banyak rasa manis. Yang anak kecil itu pahami tentang mengunyah adalah kegiatan yang mengasyikkan. Permen menjadi pilihan yang tepat, sebab jajanan itu tak mudah larut dalam sekali dua kali lumatan.

Anak kecil itu menyukai semua jenis permen kecuali rasa jahe. Menurutnya, semua tekstur punya masing-masing keajaiban dan fantasi. Anak itu merasakan permen yang kenyal seperti sedang melompat-lompat di atas kasur pegas yang baru. Permen-permen lain yang teksturnya keras ia anggap seperti biji-biji pada permainan dakon. Menyesapnya harus pelan dan penuh penghayatan. Sedangkan, permen karet adalah ketika dia berlari dari kejaran seekor kuda. Butuh cepat dan tangkas mengunyahnya. Lantas sesap-sesap dan melepehnya dengan tak sadar. Sama tak sadarnya ketika ia selalu makan permen.

Ibunya semakin hari harus menambah tandan-tandan sabarnya dan mencoba tak khawatir. Namun, usia pertumbuhan biasanya membuat para ibu lebih posesif kepada anak-anak mereka. Perempuan itu sudah melakukan banyak jalan demi mengurangi kebiasaan anaknya. Sementara itu, anaknya justru memakan permen dengan jumlah tak wajar daripada anak-anak lainnya.

Awalnya, perempuan itu hanya sekadar menegur dengan sopan yang membuat si anak diam saja seolah terlihat paham. Akan tetapi, cara pertama itu jelas tak mempan, sebab esoknya terulang lagi. Tangannya jarang sekali?bahkan hampir tak pernah?terlihat kosong oleh sumpalan permen.

Cara kedua, ibunya membuat peraturan rumah, menciptakan ?Hari Makan Permen?. Hari itu sang anak boleh mengunyah permen, tetapi cukup lima butir. Tidak lebih dan lebih baik kurang. Jika menaati peraturan itu, akan ada hadiah yang diberikan, yakni sebuah menu spesial untuk bekal sekolah.

Mula-mula peraturan itu berjalan, hanya saja ketika si anak ada di depan ibunya. Padahal, tanpa perempuan itu tahu, anaknya masih tetap mempraktikkan kebiasaan lama sampai perempuan itu menemukan banyak bungkus permen kosong di tas anaknya saat mengambil kotak bekal. Perempuan itu tak marah. Hanya paham jika peraturannya sia-sia.

Tak kehabisan akal, perempuan itu diam-diam mendatangi satu-satu teman anaknya dan menyuruh mereka melapor jika melihat anaknya memakan terlalu banyak permen, atau saat membeli permen dalam jumlah yang besar atau sedikit-sedikit, tetapi terus-menerus. Sebagai imbalan, perempuan itu akan memberi susu kotak yang enak dan jarang ditemukan bagi pelapor.

Sayangnya, anak-anak itu tidak paham dengan himbauan. Memang benar mereka mengangguk di ujung kesepakatan, tetapi mereka melupakan perjanjian dengan orang dewasa saat berada di medan permainan.

Pada akhirnya, ibu anak kecil itu memutuskan untuk sedikit menggunakan cara keras, benar-benar melarangnya. Ia kembali mengungkit bahaya permen untuk gigi dan gizi. Mengganti permen dengan buah dan kue-kue manis. Namun, lagi-lagi ini bukan masalah rasa. Sebab, anak kecil itu hanya paham soal mengunyah adalah kegiatan yang mengasyikkan. Mengunyah permen, bukan buah atau pilihan ibu lainnya.

Suatu hari, saat ibu anak kecil itu hampir menyerah sebab tak mungkin membiarkan anaknya semakin menggilai permen, ia mendatangi warung-warung sekitar rumahnya. Meskipun diliputi rasa canggung yang makin bertambah di sepanjang jalan, ia memberi tahu kepada masing-masing warung untuk tak melayani anaknya jika membeli permen berapa pun jumlahnya. Namun, tanggapan pemilik warung beda-beda. Baiknya adalah kebanyakan mereka turut prihatin. Ada pula yang justru mengungkit masalah rezeki sambil nyenthil-nyenthil.

Mungkin cara yang terakhir akan berhasil jika anak kecil itu tak tumbuh besar dan menjadi lebih berani. Namun, anak itu tetap seperti anak normal pada umumnya. Seiring naik kelas, jarak mainnya pun makin jauh dan warung-warung yang menjual permen pun ikut bertambah. Tak mungkin kalau ia mendatangi warung-warung baru itu yang jaraknya makin jauh.

Berbagai cara telah dilakukan perempuan itu sampai ia kehabisan strategi. Namun, anak kecil itu justru makin menggemari permen.

Sampai pada satu malam yang tenang, perempuan itu pergi ke kamar anaknya, lalu duduk di atas kasur. Anak itu duduk di kursi belajar, mencoret-coret entah apa, membelakangi ibunya. Didukung oleh suasana sepi yang begitu syahdu, perempuan itu mulai membuka pembicaraan dengan anaknya. Ia bercerita dengan wajah yang menggambarkan kesedihan. Suaranya sangat pelan, tetapi tetap terdengar jelas.

?Ibu mengetahui cerita ini dari nenek ibu. Awalnya, ibu tak percaya. Tapi, buyutmu itu orang yang jujur dan sakti. Dia mengetahui banyak ilmu dan tidak suka menipu. Ibu dulu tak suka melihat adik ibu memakan permen karena dia selalu membuang bungkusnya sembarangan. Hal itu ibu sampaikan ke tantemu saat ibu, nenek, dan tante, duduk-duduk di depan rumah. Buyutmu hanya tertawa. Beliau bilang kalau alasan ibu kurang tepat. Maka buyutmu memberi tahu cerita tentang permen?

?Jauh di bagian dimensi lain di mana dunia tak pernah malam, dan setiap siang memiliki warna-warna yang berbeda dari tubuh penghuninya yang memantul ke langit sebab pancaran bahagia yang begitu kuat, ada dunia permen berjalan dengan damai. Setiap permen berteman dengan permen lainnya. Mereka bertetangga dan berkeluarga. Sampai makhluk bernama manusia datang menembus kabut dimensi. Entah bagaimana caranya, sejak saat itu manusia menjadi monster yang mematikan dan mengerikan. Mereka selalu mengambil bagian dari keluarga permen, lalu menelanjanginya. Mengunyah, melepeh, menggigit, melumat, bahkan membuangnya. Semua dilakukan di depan keluarganya. Sanak saudaranya menangis tak karuan. Mereka?meskipun hanya permen?tetap mempunyai hati dan mata.?

Anehnya, sejak malam saat cerita itu berakhir, sang anak tiba-tiba berhenti mengunyah permen. Ia benar-benar berhenti, bahkan saat sengaja disodori. Ibunya senang bukan main. Berkuranglah satu pikirannya yang lama menganggu. Anak itu sepertinya tak begitu masalah dengan pensiunnya di bawah kuasa permen. Ia justru lebih enggan membayangkan sebuah keluarga permen kehilangan satu anggotanya. Dulu, adik dari perempuan itu juga berhenti gara-gara cerita itu.

Namun, tak ada yang tahu bahwa jauh di bagian dimensi lain, di mana dunia tak pernah malam, dan setiap siang memiliki warna-warna yang berbeda dari tubuh penghuninya yang memantul ke langit sebab pancaran bahagia yang begitu kuat, hari itu meredup.

Warna dari permen-permen itu tak memancar dengan keras. Mereka kini diwarnai oleh ketakutan atas satu kepercayan yang membuat mereka mati sia-sia sebab seorang manusia meninggalkan kegemarannya.

Kematian yang disebabkan oleh lumatan manusia adalah kematian yang terhormat dan keluarga permen yang ditinggalkan akan bahagia. (*Titah Ulfiani)

Leave A Reply

Your email address will not be published.