Berita Nasional Terpercaya

Rapel: Ketika Sampah Disulap Jadi Bernilai Melalui Aplikasi Digital

0

YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Pernahkah Anda berpikir sampah anorganik yang ada di rumah bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah? Mungkin sekilas pekerjaan memilah sampah tampak merepotkan, tapi jika ini dilakukan bisa menjadi potensi cuan.

Kini, Anda juga tidak perlu repot mengantarkan sampah ke markas pengepul. Ada sebuah aplikasi yang siap menjemput sampah dan Anda tinggal menuai hasilnya.

Aplikasi itu adalah Rapel. Lalu, bagaimana aplikasi ini memainkan peran dalam kehidupan sehari-hari masyarakat? Dan berapa potensi uang yang bisa diperoleh pengguna yang menjual sampah mereka?

Sebelum berbicara soal duit dari sampah, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan total produksi sampah nasional mencapai 67,8 ton per tahun.

Angka tersebut menunjukkan sekitar 185.753 ton sampah dihasilkan setiap harinya oleh seluruh penduduk Indonesia. Kira-kira, setiap orang memproduksi sekitar 0,68 kg sampah per hari.

Ternyata, angka itu meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2018, produksi sampah nasional tercatat mencapai 64 juta ton. Sementara, sampah yang dihasilkan hanya berakhir sebagai timbunan yang menggunung di tempat pembuangan akhir.

Kecemasan inilah yang memicu para engineer mencetuskan ide pembuatan aplikasi Rapel oleh PT Wahana Anugerah Energi. Mereka adalah Anang Widarso, Budi S. Prasetyo, Darmadi, dan Berty Erydani.

Dalam situs resminya, Rapel adalah aplikasi untuk menjual sampah anorganik yang masih memiliki nilai jual dan telah dipilah menurut jenisnya oleh pengguna aplikasi. Sampah itu kemudian dijual kepada kolektor atau agen pengepul yang menjadi mitra. 

“Latar belakang kami adalah engineering. Kami punya beberapa project di bidang lingkungan, termasuk waste management,” kata Berty Erydani, Founder/Acting Official of Business Growth Officer Rapel, kepada Bernas.id. 

“Salah satunya yang pernah kami desain di Bali, yaitu sanitary landfill. Kalau berdasarkan perhitungan, life-span bisa 15-20 tahun tergantung luasannya. Tapi ternyata di Indonesia, rata-rata 5 tahun sudah penuh,” ujarnya.

Melihat praktik pengelolaan sampah tersebut dan makin terbatasnya lahan, maka perlu adanya pemilahan sampah yang dimulai dari rumah tangga, restoran, perkantoran, dan sebagainya.

“Kita juga melihat banyak pemulung yang memilah sampah di landfill, kalau sudah dipilah dari rumah paling tidak (sampah) sudah cukup bersih. Dengan aplikasi, rasanya akan lebih mudah untuk bisa menjangkau,” ucap Berty.

Fakta Menarik di Yogyakarta

Yogyakarta menjadi salah satu kota yang dipilih untuk feasibility study atau studi kelayakan, yang mengawali lahirnya Rapel. Dari studi pada 2018 itu ditemukan fakta menarik, yakni sebagian warga Jogja telah melakukan pemilahan sampah.

Namun, sampah yang telah dipilah itu kembali bercampur setelah dijemput oleh pengepul, yang biasanya menggunakan truk.

“Di Jogja kita menemukan bahwa sebenarnya sudah ada yang memilah sampah. Cuma karena diangkutnya dijadikan satu lagi, dijemput sama pengepul sampah, tapi dijadikan satu lagi di truk. Itu yang membuat ya sudah ngapain dipilah,” kata Berty.

Sebagai informasi, sebagian penduduk di Yogyakarta memilih untuk berlangganan penjemputan sampah oleh pengepul. Tarifnya sekitar Rp20.000-Rp30.000 per bulan. Biasanya, sampah-sampah rumah tangga itu diambil satu hingga dua kali per minggu menggunakan truk atau kendaraan lain.

Rapel mulai uji coba aplikasi pada April 2019 di Yogyakarta. Awalnya, ada satu hingga dua kolektor direkrut untuk menjemput sampah dari rumah user. Setelah memperoleh hasil yang positif, aplikasi ini resmi dirilis pada pertengahan Agustus 2019.

Tidak hanya menargetkan rumah tangga, Rapel juga mengincar potensi sampah anorganik dari instansi. Bahkan sudah ada kerja sama dengan lembaga pemerintah di Yogyakarta.

“Sampah anorganik itu, Rapel yang pilah. Karena kantor pemerintah, ada dokumen yang bersifat rahasia, maka langsung kami hancurkan,” ucapnya.

Sejak peluncuran, ada sekitar 100 kolektor aktif di Rapel, dan hampir setengahnya berada di Yogyakarta.

Kini, Rapel telah hadir di beberapa kota/kabupaten, antara lain Brebes, Banyumas, Kebumen, Semarang, Temanggung, Magelang, Boyolali, Sleman, Bantul, Karanganyar, dan Wonogiri.

Menggunakan Rapel

Jadi, bagaimana cara kerja aplikasi ini?

Setelah mengunduh aplikasi Rapel di smartphone, pengguna harus registrasi. Setelah berhasil, langkah selanjutnya adalah memilah sampah di rumah. Sampah anorganik dipilah sesuai dengan jenisnya, kemudian diunggah ke aplikasi.

Dengan berat minimal 1 kilogram, sampah sudah bisa diiklankan pada aplikasi. Kemudian user menunggu kedatangan kolektor, yang juga akan menimbang sampah sebelum dihargai sesuai dengan jenis dan kondisinya.

Sampah yang bisa dijual antara lain kertas, plastik, logam, botol kaca, elektronik bekas, dan minyak jelantah.

Setelah pengelolaan sampah di bagian hulu telah dilakukan warga, Rapel menyediakan fasilitas daur ulang yang akan mengubah sampah menjadi bahan baku.

Tantangan di Masa Pandemi

Rapel hadir ketika kita tidak pernah membayangkan bakal terjadi pandemi Covid-19, yang kemudian menghancurkan sebagian bisnis, termasuk startup. Berty mengakui mencari investor ketika pandemi menjadi hal yang sulit.

“Karena startup, kami mengandalkan fundraising. Mencari investor ketika pandemi memang relatif turun, menjadi lebih susah untuk meyakinkan orang,” ujarnya.

Meski begitu, potensi bisnis dari sampah anorganik itu justru mencatatkan tren yang positif. Berty menyebut jumlah sampah cenderung naik, tapi tidak semua bisa dijangkau karena pemberlakukan lockdown pada awal-awal pandemi.

Kini, jumlah sampah yang diunggah user pada aplikasi mencapai 11-15 ton per bulan. Sebelum pandemi, jumlahnya berada dalam kisaran 5-7 ton per bulan.

“Begitu pandemi, kita tetap naik. Pertengahan hingga akhir tahun lalu kisarannya 8-10 ton/bulan. Jadi tetap naik angkanya,” ujarnya.

Selama ini, harga sampah anorganik yang dijual kepada tukang rosok atau pengepul harus melewati proses tawar menawar. Lalu, bagaimana menentukan harga jual sampah di Rapel?

“Kami punya tim untuk memvalidasi angka sampah anorganik di pasaran. Tiap dua minggu sekali akan kita update sesuai pasar,” tutur Berty.

Cita-cita Rapel

Seperti halnya kehidupan yang butuh tujuan dan cita-cita, sebuah perusahaan pun juga demikian. Ada sejumlah target yang ingin dicapai Rapel.

Jika sekarang aplikasi ini telah diunduh lebih dari 80.000 kali, tahun ini Rapel menargetkan jumlah downloader sebanyak 1 juta. Dengan bertambahnya jumlah user, berarti akan lebih banyak sampah yang terkumpul.

“Kalau saya asumsi kalau setiap satu orang setiap bulan satu kali posting, berarti 800-900 user aktif. Kami mau menargetkan sampai 5.000 user tahun ini,” ucap Berty.

Selain itu, Rapel juga membangun gudang pemilahan sampah lanjutan di Solo, setelah ekspansi serupa dilakukan di Semarang pada akhir tahun lalu. 

Rapel juga terus mengedukasi warga supaya memanfaatkan sampah, seperti yang dilakukan di Sleman. Rapel menularkan semangat untuk melestarikan lingkungan agar tidak berhenti pada slogan dan gagasan saja, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata dan berkelanjutan. 

Sampah sesungguhnya dapat bernilai jika dipilah dan dikelompokkan menurut jenis bahannya. Sampah anorganik bisa dikirim ke pabrik daur ulang supaya dapat berguna dan tidak mencemari lingkungan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.