BERNAS.ID – Namanya kerap terdengar pada kasus-kasus yang berkaitan dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU.
Malang melintang di dunia hukum, kini pria ini menikmati profesinya sebagai kurator. Dia adalah Jahmada Girsang, pemilik kantor hukum Jahmada Girsang & Partners, atau lebih dikenal dengan sebutan Jagirs.
Sebelum mempekerjakan profesional yang menawarkan jasa hukum di Indonesia, pria yang sering disapa Girsang ini melalui lika-liku kehidupan yang tidak mulus.
Sedari kecil, dia melewati masa-masa yang tidak seindah anak-anak lainnya. Namun, itu yang menempanya hingga menjadi advokat ternama.
Baca Juga: Psikolog dan Akademisi Tia Rahmania, Putri Daerah yang Berhasil Raih Cita di Ibu Kota
Baginya tidak ada yang tidak mungkin, termasuk ketika harus mendamaikan orang yang berseteru. Satu hal yang selalu Girsang tanam dalam benaknya, yaitu melakukan pendekatan personal touch dan bagaimana mempengaruhi orang lain, bahkan musuh sekalipun.
Pindah ke Jakarta dan Di-bully
Kepada Bernas.id, Girsang menceritakan kisah masa kecilnya yang sangat keras. Tapi, dia menekankan itulah langkah pertamanya menjadi orang yang seperti sekarang.
Girsang lahir pada 16 Oktober 1962 di Nagasaribu, sebuah desa kecil di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Dia melewati hari-harinya dengan menggembala kerbau, bermain, dan belajar, hingga pada suatu ketika semuanya berubah.
Girsang sangat teringat momen ketika penerimaan rapor kelas 2 SMP. Kala itu, pengambilan rapor tidak diwakili orangtua atau wali, melainkan oleh murid langsung.
Pada hari penerimaan rapor tahun 1977, Girsang yang sedang bermain sepakbola di sekolah begitu kaget karena ada pelajaran di kelas.
Dia dipanggil guru aljabar untuk masuk ke kelas. Sampai dikelas, Girsang yang masih kecil dianiaya oleh sang guru. Ia terpaksa melawan guru tersebut.
Girsang pergi dengan meninggalkan sepedanya di sekolah, yang setiap hari dia kayuh sejauh 7 km dari rumah. Dengan naik bus, ia menuju rumah.
“Bapak saya marah. Dia kembali ke sekolah dan menemui guru tersebut tapi guru itu sudah diamankan,” ujarnya.
Baca Juga: Cerita Reza Y Purwoko, Dokter dan Peneliti Stem Cell yang Awalnya Ingin Jadi Insinyur
Sejak peristiwa itu, sang ayah memintanya untuk meneruskan pendidikan di Jakarta. Tepat pada 17 Januari 1977, ia terbang dari Bandara Polonia Medan menuju Bandara Kemayoran, Jakarta.
Petualang baru dimulai, tapi bukan pengalaman yang indah. Sebagai anak daerah yang bersekolah di Ibu Kota, Girsang dirundung habis-habisan oleh teman-temannya karena tidak bisa Bahasa Indonesia.
“Selama 6 bulan saya di-bully karena nggak bisa Bahasa Indonesia. Dulu juga badan saya kecil sekali, kurang vitamin, hanya makan ubi, jagung, dan berada di atas kerbau tiap hari,” ungkap Girsang.
Ia bahkan kesulitan menjawab pertanyaan dari guru. Peristiwa itu membuatnya ingin pulang kampung ke rumahnya di Sumatra Utara.
Tapi apa daya, komunikasi tidak semudah seperti sekarang ini. Girsang tinggal di rumah paman atau tulangnya dan di situ ia masih harus mengerjakan pekerjaan rumah yang melelahkan.
Pada bulan ke-7 berada di Ibu Kota, ia sudah bisa beradaptasi. Meski masih dapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya, namun setidaknya situasi membaik.
“Bulan ke-7 saya mulai asimilasi Bahasa Betawi. Saya buat kelucuan, ketika itu keluar kata 'asoy yang populer, mereka suka kalau saya bilang 'asoy',” ucapnya.
Singkat cerita, Girsang dapat menyelesaikan SMP, dan masuk SMA favorit. Setelah lulus, ia membulatkan tekadnya untuk menjadi polisi.
Ternyata, keberuntungan belum berpihak padanya karena berbagai tes tidak berhasil ia lalui. Suatu ketika, sang tulang mendaftarkannya di perguruan tinggi tanpa sepengetahuan dirinya.
Jodoh dengan Hukum
Girsang begitu terkejut ketika sang paman mendaftarkannya ke Universitas Jayabaya Fakultas Hukum, Jakarta. Ya, akhirnya dia menuruti permintaan tulangnya.
Siapa sangka, ketika dia mencicipi bangku perguruan tinggi dan mempelajari hukum, dia seakan menemukan jodoh yang tepat kala itu.
Baca Juga: Donni Prabowo, Entrepreneur Muda Pegiat Ekosistem Startup Lokal
“Saya ikuti saja, ternyata, cocok banget. Kalau hitung-hitungan saya malas banget. Tahun 1981, masuk universitas dan mulai kuliah. Kemudian saya tertarik belajar hukum, dan ini benar-benar bidang saya,” jelasnya.
Setelah lulus dari kuliah, Girsang masih memendam angannya untuk menjadi polisi. Lagi-lagi, dia tidak berjodoh dengan profesi tersebut atau sebagai pegawai negeri sipil.
Kemudian, dia masuk ke kantor hukum milik Effendi Perangin-angin. Inilah cikal bakal Girsang menetapkan diri sebagai advokat, dan kelak menjadi seorang kurator.
“Akhirnya ketemu kantor pengacara, Effendi Perangin-angin. Beliau jago hukum tanah, jago perjanjian, dan luar biasa kepintarannya. Tahun 1989-1990an saya magang di sana sekitar 1,5 tahun,” katanya.
“Basic saya dicetak sama Pak Effendi untuk menjadi negosiator. Menurutnya, hukum itu the last minute saja di pengadilan, kalau bisa diselesaikan di atas meja akan lebih bagus,” imbuhnya.
Ada sekitar 56 cara negosiasi yang diajarkan Effendi kepada Girsang, termasuk yang terpenting adalah bagaimana mempengaruhi orang lain.
“Mempengaruhi teman itu biasa, tapi kalau mempengaruhi musuhmu menjadi teman itu luar biasa,” ujarnya.
Krismon dan Kisah di Jawa Timur
Girsang tidak bisa lebih lama magang di kantor pengacara itu karena tidak ada upah yang diperoleh. Kantor tersebut hanya berfokus pada pelatihan sarjana hukum.
Singkat cerita, Girsang yang telah menikah dan anak pertamanya telah lahir, mau tidak mau harus bekerja di perusahaan yang bisa memberinya gaji.
Effendi kemudian menyalurkan Girsang ke salah satu perusahaan. Ia mulai menekuni dunia personalia dan legal. Sempat pindah perusahaan, akhirnya dia dipercaya menangani HRD dan Legal wilayah Jakarta di perusahaan besar, Orang Tua Group.
Namun, krisis moneter melanda Indonesia. Terjadi pemogokan kerja di mana-mana, kepanikan juga menerpa para karyawan di perusahaan tempat ia bekerja. Padahal, tidak ada rencana pengurangan karyawan.
Girsang menghadapi situasi genting Namun, dia dan kawan-kawannya berupaya meyakinkan pekerja untuk tenang dan tidak terpancing dengan situasi.
Baca Juga: Kisah Aminullah, Ahli Software Bidang Teknik Sipil yang Mendapat Undangan S3 Gratis di Korsel
“Mereka maunya dipecat juga karena tergoda. Kita memang nggak bisa prediksi ke depan, tapi mereka berharap dapat pesangon, uangnya disimpan. Padahal itu salah, lebih baik pelihara pekerjaan sekarang ini, kecuali kalau di-PHK,” jelasnya.
Melalui pendekatan personal, Girsang berhasil meredam demo-demo karyawan dan meyakinkan mereka untuk tidak melakukan mogok kerja.
Hal yang sama juga dia terapkan ketika dipercaya untuk mengatasi kekacauan di wilayah Jawa Timur. Sekitar 300 karyawan, termasuk sopir dan kenek yang mengangkut produk untuk pendistribusian, melakukan aksi mogok kerja.
Bak di film, dia memasuki markas mereka sendirian. Kemudian, ketika sudah berada di ruang terbuka yang panas karena terik matahari, tiba-tiba para karyawan itu mengelilinginya.
Mereka ingin dapat uang pesangon beserta dengan Tunjangan Hari Raya (THR), karena sebentar lagi Idul Fitri. Datang tanpa rencana khusus, akhirnya Girsang mendapatkan ide untuk meredam amarah mereka.
“Akhirnya saya menyebarkan kertas. Masing-masing mereka menulis siapa yang tidak mau bekerja dan masih mau bekerja, dan jumlahnya sama,” katanya.
“Yang tidak mau bekerja hari ini pulang, tinggalkan kunci (truk) engkel. Dibuat tanda terima pengembalian kunci karena selama ini engkel dibawa pulang, bahkan rencananya mau dibakar,” jelasnya, ketika mengingat kembali peristiwa itu.
Mereka yang ingin berhenti bekerja mendapatkan haknya secara penuh, sementara yang masih ingin bekerja tetap melakukan rutinitas pekerjaan seperti biasa.
Jagirs and Partners
Setelah berkutat dengan pekerjaan di perusahaan, tiba waktunya Girsang untuk memulai petualang baru dengan mendirikan kantor hukum Jahmada Girsang & Partners.
Nama itu resmi dipakai pada 2005. Ada momen istimewa ketika akhirnya dia menggunakan akronim namanya sebagai lambang dari kantornya.
Baca Juga: Kisah Irzan Nurman, Jembatani Dunia Kedokteran dengan Teknologi dan Bisnis
Suatu ketika pada 2004, dia harus menangani kasus di Jawa Timur. Di situ dia melihat papan nama Jalan Jagir Wonokromo. Ya, Jagir adalah singkatan dari nama lengkapnya. Sejauh ini, dia berhasil mencetak 10 advokat yang telah membuka berbagai kantor sendiri di wilayahnya masing-masing.
“Kantor saya itu diversifikasi wilayah, jadi nggak semua Batak, ada Manado, Sulawesi, biar ragam-ragam,” ujarnya.
Setelah menyelesaikan S2 di Universitas Jayabaya, awalnya ia tertarik untuk meneruskan pendidikan S3. Namun pada akhirnya, ia memilih menjalani pendidikan kurator.
Setelah menjadi pengacara, dan advokat, kini ia telah menjadi kurator selama lima tahun terakhir. Mengutip dari UU No.37 Tahun 2004, kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
“PKPU kepailitan yang saya tangani berat-berat, di antaranya satu koperasi besar di Cirebon, krediturnya 13.000 orang di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Koperasi itu telah menghimpun dana sekitar Rp2,3 triliun. Berbondong-bondong kreditur menghadiri persidangan, yang selalu ricuh. Sebagai pemimpin kurator, Girsang tahu harus bersikap tenang menghadapi situasi semacam ini.
“Last minute, saya tawarkan satu perdamaian, antara debitur, pengurus, dan kreditur. Semua kurator mengakui kemampuan saya bisa mendamaikan 13.000 orang, yang uang mereka sudah hilang,” katanya.
Kasus itu sebelumnya telah ditolak oleh beberapa kurator lain. Namun, dia teringat pesan dari seorang kurator senior.
“Ada kurator senior, dia berpesan jangan tolak perkara kalau jadi kurator. Jadi saya tetap maju bersama 5 orang, syukur akhirnya homologasi, dan sekarang jatuh tempo pembayaran bertahap,” ujarnya.
Selama 20 tahun berkecimpung sebagai advokat, Girsang mengaku kebanyakan orang yang terjerat hukum karena tidak tahu pentingnya hukum dalam hidup, bisnis, dan bahkan hubungan dengan pemerintah.
Melakukan dengan Hati
Kini, sang putra mengikuti jejak Girsang. Meski begitu, dia selalu berpesan untuk selalu melakukan segala hal dengan segenap hati, seperti layaknya untuk Tuhan, bukan untuk manusia.
Bahkan selama pandemi Covid-19, beberapa perkara ia tangani dengan gratis. Dia juga mengaku sejumlah kasus tidak ia tentukan fee-nya. Meski diprotes oleh anak buahnya, namun itu adalah bentuk dari pelayanannya.
“Advokat kan harus nego (harga). Ada sudah bicara panjang lebar, tapi (klien bilang) besok kami hubungi lagi. Pengacara memang risikonya begitu,” ucapnya.
Baca Juga: Kisah Taufik Jamaan, Wujudkan Asa Jadi Dokter dan Dorong Wisata Medis di Indonesia
“Tapi kalau saya, saya jelaskan semua di awal. Kalau di menit-menit terakhir dia mau pakai pakai saya atau nggak, itu adalah kuasa Tuhan,” imbuhnya.
Ke depan, dia punya punya misi supaya masyarakat tidak takut berhadapan dengan kurator, yang selalu identik dengan mempailitkan perusahaan. Padahal, istilah kurator berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti cure atau merawat dan menyembuhkan, dan care atau kepedulian.
“Supaya akhirnya masyarakat nggak takut ke kurator. Ya karena awalnya ada missleading, mereka nggak tahu kurator itu apa,” katanya.
“Itu misi saya, bahkan selalu tidak lupa menjelaskan kurator itu adalah kurare, sehingga mereka para debitur dan kreditur tidak takut lagi,” ujar pria yang hobi bermain golf ini.