Berita Nasional Terpercaya

Kisah Ayu Kartika Sastrosusilo Memoles Orang untuk Makin “Pede” Bicara di Depan Umum

0

Bernas.id – Perempuan kecil yang dibesarkan di Klaten, Jawa Tengah, ini bercita-cita menjadi seorang dokter. Tekadnya begitu besar, meski ia tak kuat melihat darah atau korban kecelakaan.

Selalu aktif di organisasi sekolah, ternyata ia tumbuh besar menjadi seseorang yang lebih baik dengan mendalami dunia coaching, NLP atau Neuro Linguistic Programming, komunikasi, dan public speaking.

Perempuan bernama Ayu Kartika Sastrosusilo ini menyadari permasalahan besar dalam komunikasi antar-manusia yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Permasalahan itu adalah ketidakmampuan untuk mengekspresikan atau menyampaikan pesan pada diri sendiri dan orang lain.

Baca Juga: Melalui Metode Coaching, Fauziah Zulfitri Bagikan Kisahnya Mengasah “Berlian” dari Indonesia Timur

Melalui buku terbarunya “Talk Before You Speak”, Ayu meyakinkan betapa pentingnya menyampaikan gagasan secara tepat guna dan tepat sasaran. Menurut pengalamannya, 80% kegagalan public speaking adalah akibat gagalnya positive self talk yang kemudian berujung pada demam panggung dan hilangnya rasa percaya diri.  

Lalu, bagaimana kisah Ayu dalam merintis karier dan membantu orang lain dalam meningkatkan percaya diri berbicara di depan publik? Berikut selengkapnya.

Asa Jadi Dokter dan Rintis Kartika Catering

Ayu lahir di Surakarta pada 1971. Tapi dia dibesarkan di Klaten hingga duduk di bangku SMA. Meski dikenal sebagai seseorang yang andal dalam coaching dan public speaking, apa yang dilakukan Ayu sekarang berbeda dengan cita-citanya.

Sejak kecil, ia merajut asa untuk menjadi seorang dokter. Walau sebenarnya ia takut dengan darah, luka, atau melihat peristiwa kecelakaan, tapi ia tetap mempertahankan impiannya. Selama masa sekolah, ia rajin ikut organisasi.

Saat kelas 2 SMP, dia terpilih sebagai ketua OSIS. Hal yang sama juga terjadi ketika ia SMA. Selama tiga tahun, Ayu dipercaya menjadi pemimpin organisasi tersebut.

Bahkan, ia menyisihkan ribuan kandidat dengan terpilih mewakili Jawa Tengah dalam penyelenggaraan Jambore Nasional di Cibubur pada 1986. Dia juga sempat menjadi salah satu kandidat Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Namun, ia tak lolos tes fisik berupa lari dalam jarak jauh.

Meski punya segudang pengalaman organisasi, ia masih memegang tekad kuat untuk menjadi dokter hingga lulus SMA.

“Sehingga saat lulus SMA, saya percaya diri sekali untuk tidak mendaftar di mana pun kecuali kedokteran, saya daftar kedokteran umum UGM (Universitas Gadjah Mada) dan kedokteran hewan UGM,” katanya kepada Bernas.id.

Baca Juga: Perjalanan Lidia Rusvita Jadi Coach Dimulai dari Bahagia Membantu Sesama

Ayu dapat mengerjakan soal tes masuk Fakultas Kedokteran UGM dengan sangat baik. Namun, takdir berkata lain. Ia harus merelakan cita-cita masa kecilnya. Saat itu, paling tidak ia harus tetap melanjutkan kuliah.

Beruntung, Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta masih membuka gelombang 3 pendaftaran mahasiswa baru. Jika tidak, mungkin saja tidak kuliah saat itu.

Singkat cerita, sebelum lulus kuliah, Ayu berkesempatan menjadi dosen luar biasa selama tiga semester. Dengan harapan, begitu lulus ia dapat menjadi seorang dokter. Namun, nasib berkata lain.

Kebijakan efisiensi memicunya untuk mencoba peruntungan lain di Akademi Kesejahteraan Sosial Tarakanita di Yogyakarta. Selama setahun, ia menjadi dosen ekonomi di kampus tersebut.

Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah S2 di Magister Manajemen Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada 1999. Ayu juga mengisi waktu luang dengan mendirikan usaha katering.

“Ketika mulai kuliah S2, kok saya gabut banget ya. Saya iseng buka katering. Klien saya lumayan. Saya hanya modal mobil, kemudian orang yang masak, driver yang antar,” ucapnya.

Selama kuliah S2, dia tidak menyangka jika seorang general manager sebuah perusahaan besar di Yogyakarta menjadi salah satu teman di kelas. Ia pun mendapat tawaran untuk melakukan pitching di perusahaan tersebut.

Kartika Catering berhasil menjadi penyedia katering bagi perusahaan itu untuk 3 shift. Namun, ia tidak berniat untuk menekuni bisnis catering yang telah melambungkan namanya di dunia bisnis makanan.

Ayu masih memiliki impian lain untuk bekerja di Ibu Kota, mengasah kemampuannya di bidang organisasi yang telah digelutinya sejak kecil.

“Tidak saya pungkiri, ketika saya bekerja di Jakarta, bahkan sebelum di Jakarta, sebetulnya saya sudah sering untuk memberikan coaching kepada beberapa instansi dan orang secara personal untuk audit tim building mereka atau komunikasi dan leadership,” jelasnya.

Sebuah Berkah

Ayu menyadari passion dalam dirinya yang harus diekspresikan, yakni membuat orang lain menjadi lebih percaya diri dan mampu berkomunikasi secara efektif. Hasil riset yang ia ketahui menemukan permasalahan terbesar dalam komunikasi adalah ketidakmampuan mengekspresikan atau menyampaikan pada diri sendiri dan orang lain.

Hal tersebut bisa menimbulkan mispersepsi sehingga muncul polemik yang bisa menjadi masalah atau potensi permasalahan. Berangkat dari ihwal itu, Ayu menekuni dunia komunikasi lebih dalam lagi.

“Hal-hal itulah yang menjadi motivasi saya. Kemudian saya menekuni, dengan biaya sendiri, karena saya yakin ini juga hal yang dari dulu saya suka karena saya suka organisasi. Passion ini yang saya tumbuhkan dalam diri saya,” tuturnya.

Selain mendapat sertifikasi master of communication, Ayu juga memperdalam bidang lain seperti hypnosis dan hypnotherapy, bahkan memperoleh sertifikat dan lisensi. Pada 2004-2005, ia juga mengambil sertifikasi NLP di Indonesia.

Baca Juga: Kisah Karatyaning Lintang, Berawal dari Pendengar yang Baik hingga Coach untuk Future Leader

Terkait personal coaching, Ayu bercerita tentang pengalamannya mengubah seseorang menjadi lebih yakin pada diri sendiri. Ada seorang istri pejabat yang memiliki demam panggung.

Demam panggung saat tampil di depan umum itu menimbulkan rasa cemas dan takut. Kira-kira tiga bulan agar Ayu bisa meningkatkan percaya diri pada orang tersebut. Dengan terapi perlahan-lahan, istri pejabat tersebut mampu bangkit dan kembali memperoleh rasa percaya diri.

Bahkan, ia juga mampu berkomunikasi sesuai dengan apa yang diharapkan. Kini, si ibu tersebut juga menularkan pencapaiannya pada orang lain di sekitarnya.

“Saya kira poin yang menurut saya berkah adalah ketika melihat orang yang dulu seperti itu, kemudian ada intervensi kita, dan orang itu muncul menjadi dirinya. Dia muncul dalam kapasitas kepercayaan diri dan mampu untuk membuat orang lain menjadi lebih bersinar juga,” katanya.

Talk Before You Speak

Ayu baru saja meluncurkan buku berjudul “Talk Before You Speak”, yang merupakan cita-citanya selama tiga tahun terakhir. Tapi, dapat menyelesaikan tulisannya dalam waktu 6 bulan, sambil menyeruput kopi setiap Sabtu-Minggu di Starbucks.

Ia punya alasan khusus mengapa memilih kata “talk” sebelum “speak”. Menurutnya, talk merupakan sekadar perkataan yang keluar dari mulut. Sementara speak, merupakan perkataan yang keluar dari mulut, yang sudah dirangkai dan memiliki tujuan tertentu.

Buku ini ditulis Ayu berdasarkan pengalaman seputar komunikasi yang ia temukan dari beberapa pendampingan berupa personal coaching dan sebagainya.  Ia menemukan kelemahan seseorang yang tidak bisa berbicara di depan umum bukan karena dia tidak mampu.

Ia melihat urusan komunikasi bukan sekadar menyampaikan ide gagasan, tapi yang paling penting justru seseorang harus beres dengan dirinya dulu.

“Yang saya anggap beres terhadap diri saya sendiri itu adalah kira-kira dia berani untuk memahami lebih kurang dirinya. Kemudian harus berani mengapresiasi kelebihan dirinya,” ujarnya.

“Kadang mereka nggak berani untuk mengekspresikan kelebihan dirinya, kadang dibilang sombong lah, itu yang membuat orang malah justru nggak berani untuk percaya diri,” imbuhnya.

Selain itu, Ayu menekankan pentingnya seseorang untuk berani mengakui kelemahan. Pada titik tersebut, orang akan berani pula melakukan perubahan sehingga meningkatkan percaya diri.

Dalam buku “Talk Before You Speak, ia juga memaparkan adanya hambatan psikologis dalam diri seseorang yang menjadi halangan dalam berkomunikasi. Menurut pengalamannya, 80% kegagalan public speaking adalah akibat gagalnya positive self talk yang kemudian berujung pada demam panggung dan hilangnya rasa percaya diri. 

Self talk harus bicara dulu dalam diri sendiri, afirmasi positif apa yang harus disampaikan. Kemudian apa sih manfaat kalau saya menyampaikan ini, kalau tidak maka masalah apa yang akan terjadi,” ucapnya.

Baca Juga: Kisah Issa Kumalasari Membantu Sesama Lewat NLP

Dalam konteks public speaking, ia menyebutkan self talk atau berbicara dalam diri sendiri lebih penting dibandingkan materi yang mau dibawakan. Seseorang bisa mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu, jika ia tekah melakukannya terlebih dulu.

Ia juga menyebutkan ketika sedang berbicara dengan orang lain, maka sebenarnya kita juga sedang berbicara dengan diri sendiri. Momen seperti itu menjadi cara untuk mengingatkan hal-hal yang masih perlu diperbaiki dalam diri.

Speak adalah semua yang disiapkan secara teknis seperti rencana, tujuan, dan materinya. Tapi self talk bicara tentang proud, dignity, trust terhadap diri sendiri, confident,  itu yang harus beres dulu,” katanya.

Membangun Mentalitas

Tak bisa dipungkiri, perkembangan zaman membuat digitalisasi semakin cepat. Kini, anak-anak muda semakin berani untuk bicara dan mempersuasif. Meski demikian, Ayu mengatakan perlunya membangun mentalitas.

Generasi muda telah mampu menyuarakan sesuatu, namun jangan melupakan kewajiban untuk menyampaikannya secara santun dan bertanggung jawab. Dengan begitu, muncul keharmonisan dengan lingkungan agar tidak menimbulkan potensi masalah yang besar.

“Mentalitas itu harus dibangun. Tapi bukan idealis. Setiap orang ingin sempurna, tetapi kesempurnaan itu terletak pada ketidaksempurnaan itu sendiri,” ujarnya.

Selain itu, dia mengucapkan perlu menanamkan persepsi bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan begitu, ketika menyampaikan sesuatu maka tidak timbul rasa paling tahu terhadap suatu hal.

“Jadi kita tidak muda menjadi baperan, mudah tersinggung, menghakimi sesuatu tanpa melakukan proses verifikasi, atau melakukan proses untuk melihat secara komprehensif dari segala sudut pandang,” jelasnya.

Yang tidak kalah penting juga, Ayu menyebutkan perlunya mengetahui pesan apa yang ingin disampaikan kepada audiens. Selain itu, jangan lupa untuk mengapresiasi para audiens yang telah menyempatkan diri untuk mendengarkan pesan kita.

Ayu juga memberikan tips untuk bisa bicara di depan publik meski dalam kondisi yang serba mendadak.

“Tujuan jangan kemudian dikecilkan karena cara, tapi cara yang menyesuaikan terhadap tujuan. Tidak perlu cemas dengan impromptu, suatu kondisi diminta di mana kita bicara secara mendadak,” katanya.

“Dari pada emosi untuk keringatan. kita fokus pada audiens yang datang siapa, tema acara, kemudian bisa browsing Google, sampaikan point to point. Yang penting ketika berhadapan dengan audiens, jangan lupa untuk mengapresiasi mereka,” imbuhnya.

Baca Juga: Kisah Rini Haerinnisya, “Dibajak” Berbagai Perusahaan hingga Jadi Professional Life Coach 

Dia juga menekankan perlunya pemahaman tentang pertanyaan yang dilontarkan kepada kita setelah berbicara. Menurutnya, pertanyaan itu bukanlah sebuah serangan terhadap kita.

Selalu menganggap diri sebagai orang yang paling tahu bukanlah hal yang baik itu penting. Tak hanya itu, kita perlu membangun persepsi bahwa diri kita terbatas dengan pengetahuan-pengetahuan.

The map is not the territory. Itu berarti  peta mental atau pengetahuan pada diri itu bukanlah teritorial sebenarnya,” ujarnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.