Kisah Lusy Laksita dan Pengalaman 30 Tahun Lebih Berkarier di Dunia Penyiaran Radio?

BERNAS.ID – Seorang penyiar radio memiliki peran penting dalam kesuksesan acara yang dibawakan. Walau digitalisasi semakin berkembang pesat dan membuat radio harus beradaptasi, eksistensinya tak pernah lepas dari kehadiran penyiar radio.
Bagi Lusy Laksita, penyiar radio tak sekadar bicara, namun memahami emosi para pendengar. Selain itu, ada nilai-nilai yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang penyiar radio, yakni disiplin, toleransi, dan komitmen.
Setelah selama lebih dari 30 tahun berkecimpung di dunia penyiaran, Lusy masih terus berkarya. Melalui sekolah pelatihan broadcast, public speaking, public relations, dan pengembangan diri, ia telah mencetak banyak orang untuk punya keterampilan dalam berkomunikasi.
Baca Juga: Kisah Dokter Asep Ahmad Saefullah Dalami Spiritualitas dan Hipnosis yang Mengubah Hidupnya
Tak pernah terpikirkan oleh Lusy, jika suatu saat ia akan begitu mencintai profesi penyiar. Sebab, Lusy kecil memiliki cita-cita sebagai guru. Lalu, bagaimana kisah perjalanan hidup Lusy Laksita? Berikut selengkapnya.
Berkenalan dengan Radio
Lusy Laksita lahir di Yogyakarta pada 23 Februari 1967 dengan nama lengkap Lucia Saddewi Dwi Intani. Sejak kecil, ia berharap akan menjadi guru suatu saat nanti. Bukan tanpa alasan, ia melihat guru sebagai sosok yang penuh keikhlasan dalam mendidik murid.
“Pengalaman dari melihat guru dari TK, SD, SMP, dan SMA. Guru itu ikhlas benar mendidik muridnya. Jadi guru supaya bisa berbagi ilmu, pengalaman, dan sebagainya,” katanya, kepada Bernas.id.
Awal ketertarikannya dengan dunia penyiaran diawali ketika ia mendapat tugas jurnalistik dari sang guru. Saat itu, ia duduk di bangku SMA, dengan mengambil jurusan bahasa. Suatu ketika, gurunya memberi tugas untuk melakukan wawancara seorang tokoh publik.
Era itu, tokoh publik yang terkenal adalah penyiar radio. Lusy pun akhirnya memilih untuk mendatangi kantor radio Geronimo FM dan mewawancarai penyiar radio. Dari situ, ia melihat bagaimana seorang penyiar melakukan siaran.
Dengan mata berbinar-binar, ia menyaksikan seorang penyiar radio menyapa pendengar dan memutarkan lagu kesukaan mereka. Momen tersebut yang membuat Lusy tertarik menjadi penyiar radio.
“Pada saat itu melihat seorang penyiar sedang siaran. Kemudian, senang ya, senyum-senyum, memutar lagu. Kayaknya menyenangkan, nanti dapat honor. Pada saat itu tertarik untuk menjadi penyiar radio,” ucapnya.
Baca Juga: Kisah Agnes Elok Dirikan Cafe Kopi Ro Teh, Pernah Dapat Dua Pelanggan Sehari
Kemudian pada 1985, ia melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dengan mengambil jurusan sastra Jawa di Fakultas Sastra. Suatu ketika, ia mendapat informasi bahwa Geronimo FM sedang membuka lowongan pekerjaan.
Pada 1987, ia pun mendapat kesempatan untuk menjadi seorang penyiar radio. Meski tanpa memiliki bekal apapun tentang penyiar, ia terbukti mampu meraih keinginannya. Tentu saja, dengan dedikasi dan terus belajar.
“Siaran pertama grogi itu biasa. Bayangin harus berbicara, bertanggung jawab memandu acara, siaran. Meskipun sebelum siaran sudah latihan,” ujarnya,
Setelah mengikuti pelatihan dan siaran beberapa kali, grogi itu sudah menghilang. Lusy pun semakin lancar dalam memandu acara di radio. Ia masih ingat acara pertama yang ia bawakan dulunya bernama “Warga Kota”. Program tersebut mengudara pukul 07.00-09.00. Honor pertama yang ia terima kala itu sebesar Rp18.475 per bulan.
“Waktu itu siaran 1 jam honornya Rp400. Semakin sering siaran, kemudian membiasakan diri dan terbiasa ya akhirnya nggak grogi lagi,” tuturnya.
Setelah 13 tahun berkarier di Geronimo FM di Yogyakarta baik sebagai penyiar, reporter, hingga pengarah acara dan redaktur musik, Lusy mencoba peluang baru di Semarang. Kota itu adalah salah satu impiannya.
Ia pun mendapatkan kesempatan untuk bekerja di radio IBC FM Semarang pada 2001. Selama tiga tahun di Semarang, ia mengasah diri di bidang pemasaran dengan dipercaya sebagai marketing manager dan public relations.
Pada 2005, Lusy memutuskan kembali Yogyakarta dan bekerja di radio FeMale dan juga Prambors pada 2006. Tiga tahun kemudian, dia menjadi station manager dan penyiar di radio Ardia FM Yogyakarta.
Selama lebih dari 30 tahun berkarier di dunia penyiaran, ia juga pernah bekerja sebagai penyiar di TVRI Yogyakarta pada 1993-2000. Di Semarang, ia juga menjadi pembawa berita dan presenter di TVRI dan PRO TV Semarang. Pada 2005 hingga kini, ia masih menekuni profesi presenter atau pembawa acara di Jogja TV.
Disiplin, Komitmen, dan Toleransi
Bagi Lusy, bekerja di dunia penyiaran memberinya banyak nilai-nilai kehidupan yang selalu melekat dalam kesehariannya. Selama bekerja sebagai penyiar radio, dia memperoleh makna disiplin yang sesungguhnya.
Seorang penyiar tidak boleh terlambat dalam memandu sebuah acara, sebab sudah ada pendengar yang menunggu. Belum lagi, jika ada iklan yang harus diputar atau dibacakan selama sesi siaran.
“Dulu waktu siaran, kami menghidupkan pemancar sendiri. Siaran jam 05.00 pagi, jam 03.00 harus bangun dan siap-siap,” katanya.
“Minimal pukul 04.30 sudah harus menghidupkan pemancar. Itu membuat Mama Lusy hidup disiplin karena siaran nggak boleh telat,” imbuhnya.
Siaran jam berapapun, seorang penyiar sebaiknya mempersiapkan diri lebih awal. Lusy mengatakan, apalagi ketika itu siaran masih menggunakan kaset pita sehingga lagu-lagu yang akan diputar harus disesuaikan posisinya.
Meski teknologi terus berkembang dan semuanya sudah terkomputerisasi, disiplin harus tetap dilakukan oleh seorang penyiar. Menurutnya, seorang penyiar radio tidak sekadar bersuara, namun harus tahu apa yang akan disampaikan kepada pendengar.
Selain disiplin, nilai yang paling berharga dari profesi ini adalah rasa toleransi yang tinggi. Toleransi tidak hanya soal agama, tapi juga kehidupan. Ketika Lusy masih kuliah dan sedang ujian, teman penyiar lainnya harus siap menggantikan siaran.
“Belajar dari toleransi. Kemudian tidak agama saja, toleransi dalam kehidupan. Kalau Mama Lusy ujian, yang nggak ujian menggantikan siaran. Waktu itu masih kuliah, nomor satu tetap kuliah,” kata perempuan yang kerap disapa Mama Lusy ini.
Selanjutnya adalah profesionalitas, yang tidak dipisahkan dari komitmen. Menurut Lusy, modal utama menjadi seorang penyiar bukanlah suara, namun kepribadian yang akan mempengaruhi profesionalitas seseorang.
“Masalah belajar siaran bisa dipelajari, kalau komitmen itu sudah pribadi. Punya pribadi baik dulu, komitmen, profesional, dan disiplin. Walaupun sebelumnya belum punya komitmen setelah jadi penyiar radio ya harus punya komitmen,” jelasnya.
Baca Juga: Kisah Dodik Pujo Prasetyo, Dokter Nyentrik Pelopor Hipnosis di NTT
Radio terus dihantam oleh berbagai kemajuan teknologi, yang mau tidak mau menuntut media auditif ini harus menyesuaikan diri. Lusy tidak menolak bahwa radio harus terus mengembangkan eksistensinya di ekosistem yang serba canggih.
Meski demikian, radio tidak boleh kehilangan identitas sejatinya sebagai media audio, yang memiliki keunggulan memainkan theater of mind atau panggung pikiran, Lusy berpendapat, radio bukan untuk dilihat, melainkan didengarkan.
“Radio itu didengarkan bukan dilihat. itu prinsip. Jadi maaf, nggak perlu video streaming. Radio itu panggung pikiran, menciptakan pikiran, dan itu membuat kita dekat,” ujarnya.
Meski berada di balik sebuah siaran, wajah Lusy dikenali oleh penggemar setianya. Pernah suatu hari ketika hendak membayar pesanannya di sebuah restoran, ternyata sudah ada orang yang membayarnya.
Lusy tidak tahu siapa yang membayar pesanannya, yang pasti pelayan mengatakan ada seseorang yang mengenalinya sebagai seorang penyiar radio.
Pernah juga seorang juru parkir, berlari hingga tergopoh-gopoh menghampiri Lusy yang keluar dari sebuah toko. Sambil menyodorkan kertas dan pulpen, juru parkir itu meminta tanda tangan sang idola.
“Senangnya itu bukan sombong, tapi sampai segitunya penghargaan pada seorang penyiar radio,” katanya.
“Ketika orang menghargai penyiar radio, kita harus menghargai mereka, tampilkan yang terbaik. Jadi itu memicu lebih baik lagi,” imbuhnya.
Menjadi Pendidik
Meski tidak tercapai menjadi seorang guru sekolah, tapi rasa ingin selalu berbagi ilmu dan pengalaman terus melekat. Sampai akhirnya pada 2007, Lusy mendirikan Lusy Laksita Partner In Comm, sebuah lembaga pelatihan untuk membentuk pribadi seseorang menjadi lebih komunikatif, mempesona, dan cerdas.
Berbekal pengalamannya menjadi seorang trainer sejak 1993, ia pun melebarkan sayapnya dan merangkul lebih banyak orang lain yang membutuhkan kemampuan berbicara di depan umum.
Tak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak dengan berbagai talenta memerlukan keterampilan public speaking dalam mengembangkan bakat mereka.
“Dari segala profesi, dokter, anggota dewan, guru, karyawan, yang khususnya belajar public speaking. Mereka membutuhkan kemampuan itu untuk berbicara di depan umum. bahkan anak-anak,” jelasnya.
Ada juga ibu rumah tangga yang ingin belajar public speaking karena mengikuti banyak kegiatan organisasi, atau sekadar mereka ingin mengimbangi suaminya yang terpilih menjadi kepala desa dan sebagainya.
“Kesadaran banyak banget. Ada yang baru mendapatkan jabatan, mereka mau belajar. Karena kapasitas seseorang dilihat bagaimana dia berbicara di depan umum,” tuturnya.
Lembaga pelatihan itu juga membuka kursus wawancara kerja bagi fresh graduate, baik untuk wawancara online maupun offline. Meski berbasis di Yogyakarta, pandemi membuat Lusy mendapat lebih banyak murid dari berbagai daerah karena bisa dilakukan secara online.
“Kalau pelajaran privat cukup 5 kali pertemuan karena pandemi jadi 8 kali pertemuan. Tapi karena ini keterampilan, orang harus mengasah. Jangan 5 kali pertemuan merasa bisa, tapi tetap harus dilatih,” jelasnya.
Lusy menjalani kehidupan sehari-harinya dengan prinsip menikmati dan mensyukuri. Menurutnya, manusia harus menikmati apapun yang telah dipilih sebagai jalan hidupnya. Penggemar warna merah ini mengatakan, jika pekerjaan yang dipilih menuntut kita untuk bangun pagi, maka lakukan dan jangan mengeluh.
Baca Juga: Kisah AKP Gusti Komang Sulastra, Anak Petani Jadi Polisi Hingga Mendalami Hipnosis
“Syukuri saja. Kenapa sih harus mengeluh, sementara banyak orang yang ingin kerja. Justru pandemi, kami dapat murid lebih banyak walaupun melalui online,” katanya.
Lusy selalu menyukai pilihan dan jalan hidupnya. Kebahagiaan selalu muncul ketika kita bertemu langsung dengannya. Meski demikian, ia masih memiliki impian besar yang tersimpan dalam hatinya, yaitu memiliki stasiun radio.
“Ingin punya studio radio sendiri. Punya radio sendiri, radio yang asyik. Selain itu, juga membesarkan sekolah ini. Kalau pribadi, ingin tetap sehat dan bermanfaat,” ucapnya.