Kisah Umi Waheeda, Sukses Kelola Pesantren Tanpa Bantuan Donatur

Bernas.id – Pesantren identik dengan kepemimpinan seorang pria dan sosok kyai yang menjadi panutan para santri. Sementara itu, para perempuan hanya berkutat untuk urusan dapur demi memenuhi isi perut seluruh penghuni pondok.
Namun, sosok Umi Waheeda berhasil mendobrak hal tersebut. Di balik dominasi laki-laki, Umi Waheeda justru mampu memimpin Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman. Sosok Umi Waheeda seolah mendobrak stigma yang selama ini ada.
Umi, begitu sapaan akrabnya, berhasil menunjukkan bahwa wanita juga bisa menjadi pemimpin dan tak hanya berkutat pada masalah dapur saja. Lalu bagaimana kisah Umi Waheeda berhasil menjadi sosok ibu sekaligus pemimpin bagi ribuan santri? Berikut kisahnya:
Awal Mula Mendirikan Pesantren
Tragedi kerusuhan Mei 1998 di Indonesia menjadi awal mulai wanita kelahiran Singapura pada 14 Januari 1968 ini mendirikan Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman yang berlokasi Desa Waru Jaya, Parung, Bogor.
Awalnya, Umi yang saat itu telah menjadi istri dari Habib Saggaf tinggal di kompleks DPR yang berada di kawasan Bintaro. Melihat kondisi tempat sekitarnya tinggal sangat dekat dengan pusat kerusuhan, sang suami pun berinisiatif untuk membawa Umi dan anak-anaknya mengungsi ke sebuah vila pribadi yang berada di kawasan Parung, Bogor.
“Vila itu berada di tengan kuburan China dan terkenal sangat angker. Selama tiga bulan tinggal di villa tersebut, kami belum memiliki akses listrik dan air,” ucap dia dalam acara Telinga Podcast Indonesia.
Setelah pindah ke daerah parung, sang suami melihat bahwa kehidupan anak-anak perempuan disana sangat krisis, dimana mereka menjajakan diri dan putus sekolah.
“Yah, anak-anak perempuan disana juga banyak yang menikah muda. Usai 14 atau 16 tahun sudah banyak yang jadi janda, lalu mereka masuk ke warung remang-remang sekitar Bogor,” tambahnya.
Melihat mirisnya nasib perempuan di daerah tersebut, suami Umi Waheeda pun merasa bahwa nasib bangsa juga akan rusak.
“Waktu itu almarhum suami bilang, ‘kalau suatu negara dilahirkan oleh seorang ibu yang menjajakan dirinya seperti itu, bangsa tersebut tidak akan maju dan tidak bisa menjadi keturunan yang soleh dan soleha,” tambahnya.
Setelah itu, Umi dan almarhum suami pun mengundang anak-anak wanita tersebut untuk belajar bersama. Akan tetapi, mereka semua menolaknya karena merasa lelah belajar dan bekerja.
“Waktu itu mereka menganggap kerja di warung remang-remang satu jam sudah bisa dapat 200 ribu daripada sekolah atau bekerja lainnya,” tambah dia.
Tak putus asa, Umi dan almarhum suami pun akhirnya berinisiatif membuka sebuah pondok pesantren dan menampung siapa saja yang bersedia belajar di pondok tersebut.
Selang beberapa waktu, ada seorang anak lelaki dari jawa Tengah datang kepada Umi dan almarhum suami meminta izin untuk belajar di pondok pesantren tersebut. Setelah itu, Umi dan almarhum suami membawa anak-anak yatim dari Aceh untuk belajar di pondok pesantren tersebut.
“Kebetulan waktu itu ada teman almarhum suami dari Aceh dan kita dikasih tahu kalau banyak anak-anak yatim di Aceh yang diangkat anak oleh orang-orang luar negeri. Yah, daripada ke luar negeri, kita bawa mereka ke pondok kami,” tambah dia.
Saat pertama kali tiba, ada sekitar 500 anak yatim piatu dari Aceh yang datang ke Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman. Setelah itu, sekitar 500 anak-anak pengungsi dari Timor Leste yang datang ke pondok pesantren tersebut.
“Setelah itu, pondok semakin berkembang dan santri pun tambah banyak. Semua santri di sana bisa belajar gratis. Kebetulan, suami saya mengelola beberapa bisnis sehingga kami tidak memiliki masalah keuangan,” ucapnya.
Baca juga: Di Balik Sengkarut Sertifikasi Halal MUI
Awal Mula Kepemimpinan Umi Waheeda
Kepemimpinan Umi di Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman dimulai ketika sang suami, Habib Saggaf, meninggal dunia di tahun 2010.
“Satu minggu sebelum sakit, suami saya memang sudah berpesan bahwa beliau akan meninggal dan saya harus melanjutkan kepemimpinan di Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman,” ucapnya.
Pada mulanya, Umi tidak percaya bahwa snag suami akan jatuh sakit karena dia merasa bahwa kekasih hatinya tersebut adalah orang yang benar-benar menjaga kebugaran tubuh. Akan tetapi, takdir berkata lain. Sang suami pun jatuh sakit dan pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
“Awalnya, saya merasa sangat tertekan karena saya tidak tahu bagaimana mengelola bisnis dan saya di pondok hanya bagian mengajar. waktu itu saya juga sedang kuliah S3 dan masih harus mengurus makan para santri dan tamu. Saya sangat kaget saat habib meninggal. Tapi, saya yakin kalau Allah tahu apa yang terbaik,” ungkapnya.
Suka Duka Mengelola Pesantren
Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Umi pun mulai bangkit dan menjalankan amanat dari Habib Saggaf.
“Sebelum meninggal, Habis sudah berpesan ke saya harus mengusahakan agar Nurul Iman tetap gratis dan berkualitas. Dia juga mengatakan bahwa semua aset yang ditinggalkannya akan diwakafkan untuk santri,” ucap Umi.
Setelah itu, Umi pun mulai menelusuri semua aset yang ditinggalkan oleh sang suami dan mengelolanya untuk keperluan santri. Langkah awal yang dilakukan Umi untuk melanjutkan kepemimpinan di pesantren adalah melakukan rasionalisasi jumlah santri.
“Sebelum Habib meninggal, ada sekitar 23 ribu santri dan sekarang saya fokus hanya 15 ribu santri. Santri yang sudah lulus saya kasih ijazah dan saya tidak terima lagi kecuali jika mereka sudah tidak punya orangtua,” ungkapnya.
Setelah melakukan langkah awal, Umi pun berusaha semaksimal mungkin mengelola aset yang ditinggalkan sang suami untuk keperluan pesantren.
Umi mengelola semua aset tersebut secara profesional dan transparan hingga perjuangan tersebut berhasil menghidupi seluruh penghuni pondok pesantren.
“Habib tinggalkan kami 25 unit usaha sekarang sudah menjadi 59 unit usaha. Alhamdulillah, pondok pesantren bisa hidup tanpa donasi. Waktu Habib hidup, donasi masih berjalan.
Namun sepeninggal beliau, tidak ada orang yang percaya bahwa saya bisa melanjutkan kepemimpinan sehingga semua donasi dihentikan,” tambahnya.
Kesuksesan Umi Waheeda dalam memimpin Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman juga didorong oleh bantuan berbagai pihak.
Dalam acara Telinga Podcast Indonesia, Umi mengaku bahwa anak-anak dan para ustad di pondok pesantren adalah orang-orang yang selama ini membantu dirinya dalam menjalani sang suami.
“Waktu itu, kami juga menggaji orang untuk mengurus usaha kami Tapi, alhamdulillah, sekarang kami bisa menjalankannya sendiri. Kami yakin yang namanya mengurus usaha itu harus benar-benar profesional, accountable, dan transparan,” tambah dia.
Baca juga: Kisah Debbie, Jalankan Misi Sosial untuk Bantu Pengusaha Mikro Lewat INAmikro
Tips Manajemen Pesantren Ala Umi Waheeda
Donasi biasanya menjadi salah satu penopang bagi berdirinya sebuah pesantren di Indonesia. Akan tetapi, Umi Waheeda berhasil membuktikan bahwa tak selamanya pesantren harus berdiri dengan sokongan donasi.
Dengan lini bisnis yang dimilikinya, Umi tetap bisa memberikan pendidikan gratis dan berkualitas untuk seluruh santri di Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman.
“Kami punya tagline ‘pendidikan gratis dan berkualitas yang didukung dari wirausaha sosial’. Dari tagline tersebut, sudah terlihat bahwa kami berusaha fokus pada wirausaha sosial,” tambah Umi.
Dengan berfokus pada wirausaha sosial, Umi Waheeda mengarahkan semua keuntungan yang diperoleh dari unit usaha dan aset yang dikelolanya untuk membayar gaji guru, membayar listrik, dan memenuhi semua kebutuhan pesantren.
Selain itu, Umi Waheeda juga merekrut para santri yang telah memperoleh gelar sarjana agar turut serta mengelola unit bisnis dan aset yang telah diwakafkan untuk Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman.
“Jadi, pesantren itu jika ingin independent and sustainable harus punya unit usaha yang dijalankan oleh santri yang sudah selesai S1. Seperti yang ada di pabrik roti, pabrik kedelai, atau usaha perikanan kami, semua santri yang sudah lulus S1 kami minta untuk membantu mengelolanya,” tambah Umi Waheeda.