Berita Nasional Terpercaya

Kisah Melanie Perkins Rintis Canva, Ditolak 100 Investor hingga Jadi Unicorn Pertama di Australia

0

BERNAS.ID – Platform desain grafis, Canva, kini telah digunakan lebih dari 60 juta user aktif setiap bulannya yang tersebar di 190 negara. Pada September 2021, Canva mengumumkan nilai valuasi perusahaan telah mencapai US$40 miliar atau sekitar Rp573 triliun.

Pernyataan itu disampaikan setelah perusahaan memperoleh suntikan dana senilai US$200 juta oleh T. Rowe Price, sebuah perusahaan manajemen investasi global, dan sejumlah investor strategis lainnya.

Canva telah memudahkan para pengguna dengan lebih dari 7 miliar desain dan 120 desain baru setiap detiknya. Sejauh ini, sudah ada lebih dari 800.000 template dan lebih dari 100 juta materi desain termasuk foto, video, stiker, audio, dan ilustrasi.

Bahkan, startup ini adalah unicorn pertama asal Negeri Kangguru, Australia. Di balik kesuksesannya, ada sosok perempuan muda bernama Melanie Perkins. Ide untuk mendesain dengan mudah untuk siapapun mulai dikerjakan Melanie di ruang tamu sang ibu.

Baca Juga: Kisah Volodymyr Zelensky, dari Pelawak hingga Jadi Presiden Ukraina

Bagaimana kisah Melanie Perkins dalam merintis Canva? Siapa saja yang terlibat di dalamnya, dan bagaimana lika-likunya? Berikut selengkapnya.

Ruang Tamu Ibu

Pada 2006, Melanie Perkins adalah mahasiswi University of Western Australia. Ia adalah putri dari seorang guru kelahiran Australia dan insinyur Malaysia keturunan Filipina dan Sri Lanka. Awalnya, ia berkeinginan menjadi pemain skater profesional.

Mengutip Forbes, semuanya berubah ketika ia memutuskan untuk kuliah. Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi.  Selama kuliah, ia kerap mengajari mahasiswa lainnya menggunakan program desain seperti InDesign dan Photoshop. 

Namun kenyataannya, mereka kesulitan untuk memakai kedua software tersebut. Melanie melakukan pelatihan tersebut bersama pria yang kala itu masih menjadi kekasihnya Cliff Obrecht. 

“Mereka (mahasiswa) harus menghabiskan satu semester penuh untuk mengetahui di mana letak tombol (pada InDesign dan Photoshop), dan itu tampaknya benar-benar konyol,” ujarnya, seperti yang dilansir dari CNBC.

“Saya berpikir, di masa depan semuanya akan online dan kolaboratif, serta jauh lebih sederhana daripada alat yang sangat sulit ini.” imbuhnya.

Selain sulit, merancang desain di Photoshop, Microsoft Word, atau InDesign mengharuskan pengguna untuk mengubah file ke ukuran yang tepat dan menyimpannya dalam bentuk PDF, baru dibawa ke percetakan.

Melanie menjadi galau karena di zaman yang serba internet, perihal desain masih terkesan rumit. Padahal, semuanya bisa dilakukan di satu tempat secara online. Begitu kira-kira yang dipikirkan Melanie saat itu.

Melansir dari Inc, kegelisahan Melanie ia tuangkan dengan berada di ruang tamu ibunya. Berangkat dari masalah dan ketakutan jika idenya ternyata dieksekusi oleh orang lain, ia pun segera bertindak.

Baca Juga: Kisah Tesla: Berawal dari Impian Dua Pemuda, hingga Sukses Produksi Mobil Listrik

Bersama kekasihnya, ia memulai bisnis yang berfokus pada desain buku tahunan, yang memungkinkan sekolah-sekolah untuk memilih warna dan tata letak. Dia merekrut pekerja lepas untuk membangun situs web Flash.

Kemudian, lahirlah Fusion Books, sebuah startup yang segera mendapatkan perhatian pengguna. Mengutip wawancara Head of PR and Communications Canva Liz Mckenzie kepada Medium, situs bernama Fusion Books itu dirilis dengan pengalaman bisnis Melanie dan Cliff yang masih memiliki sedikit pengalaman bisnis.

Bisnis tersebut berkembang hingga akhirnya Melanie mengambil alih seluruh area di ruang tamu ibunya untuk pekerjaannya. Ia bahkan harus cuti satu semester, padahal sebentar lagi ia akan lulus.

Ketika situsnya ramai peminat, sang ibu membantu Melanie dengan mengisi tinta printer semalaman. Sementara, Cliff Obrecht menjawab panggilan telepon dari pengguna.

Mengutip Forbes, Fusion Books berhasil menjangkau 400 sekolah, sebuah permulaan yang akan mengantarkan Melanie pada kesuksesan besar di masa depan. Meski demikian, ia harus melewati banyak kekecewaan terlebih dahulu.

Ditolak Lebih dari 100 Investor

Tinggal di Australia membuat Melanie kesulitan untuk menjangkau investor  besar di bidang teknologi, karena sebagian dari mereka berbasis di California, Amerika Serikat.

Harapan sedikit terbuka ketika pemodal ternama asal Silicon Valley, Bill Tai, datang ke Perth untuk menjadi juri dalam sebuah kompetisi startup. Dalam sebuah makan malam yang digelar Bill Tai, Melanie dan Cliff mencoba mendatangi para undangan untuk menawarkan sesuatu, yang mereka sebut sebagai Canvas Chef.

Canvas Chef merupakan metafora pizza, dengan berbagai elemen desain sebagai topping. Sementara berbagai jenis dokumen, meliputi selebaran, kartu nama, menu restoran adalah adonannya.

“Ini  bukan analogi yang paling bergaya,” ujar Rick Baker, seorang investor yang melihat tawaran dari Melanie.

Melanie dan Cliff pulang dengan tangan kosong. Mengutip dari CNBC, Tai mengundang Melanie ke San Francisco untuk mengajukan idenya. Melanie berhasil membuat kesan yang baik, namun investor legendaris itu malah berkata akan menghubungkan Melanie dengan beberapa kenalannya.

“Saya pikir, dia tidak benar-benar menyukai apa yang saya katakan. Dia malah memainkan ponselnya, dan saya pikir itu artinya dia tidak memahami apa yang saya katakan tentang masa depan publishing,” tutur Melanie.

“Kemudian saya pulang dan menyadari bahwa dia sebenarnya ingin memperkenalkan saya kepada beberapa orang,” imbuhnya.

Baca Juga: Lika-liku Perjalanan TikTok, Pernah Dilarang hingga Miliki Pengguna Lebih dari 1 Miliar

Selama berada di San Francisco, ia tinggal bersama saudara laki-lakinya selama tiga bulan. Ia menawarkan rencana bisnisnya kepada lebih dari 100 investor dan semuanya menolak Canva.

“Saya ingat kala itu berpikir, kenapa ini begitu sulit,” tuturnya dalam sebuah wawancara, seperti dilaporkan oleh Inc.

Pada akhirnya, Tai memperkenalkan Melanie kepada beberapa selebriti Hollywood. Aktor Woody Harrelson dan Owen Wilson menjadi investor pertama untuk Canva, bersama dengan Tai.

Sebagai informasi, Melanie bahkan belajar selancar layang atau kitesurfing secara khusus untuk bisa menjangkau para investor penggemar olahraga tersebut, termasuk Bill Tai.

Inovator Masa Depan

Setelah memperoleh investor besar, membangun platform desain Canva perlu tim yang berkembang, Pada 2012, Canva memulai segalanya. Dengan bantuan dari penasihat teknologi dan salah satu pendiri Google Maps Lars Rasmussen, Melanie dan Cliff dipertemukan dengan Cameron Adams.

Segera, Cameron menjadi salah satu co-founder Canva. Perusahaan itu semakin berkembang. Melanie dan Cliff memiliki 36% saham dari perusahaan tersebut. Mereka mengumumkan akan mentransfer lebih dari 80% saham yang dimiliki ke Yayasan Canva untuk tujuan amal.

Pada 2018, Canva menjadi startup unicorn pertama di Australia dengan valuasi senilai US$40 miliar kala itu. Saat itu, Melanie baru berusia 30 tahun. Canva hadir di Indonesia pada 2017 dengan versi Bahasa Indonesia sehingga memudahkan pengguna.

Canva menyediakan template desain bagi pengguna secara gratis. Template tersebut dapat digunakan untuk merancang kartu ucapan, poster, CV, kalender, dan konten untuk media sosial. Aplikasi Canva di Android juga telah tersedia dalam 100 bahasa.

Laporan BBC menyebutkan, ada sekitar 500.0000 pelanggan yang menggunakan layanan premium di Canva, artinya mereka membayar untuk desain-desain yang berbayar.  Klien-klien korporat yang menggunakan Canva seperti Zoom, Salesforce, Paypal, Marriott International, dan American Airlines.

Meski mendukung sejumlah perusahaan bisnis dan konsumen, Melanie juga mendukung organisasi amal. Sebanyak lembaga nonprofit dapat menggunakan Canva secara gratis untuk memperoleh pendanaan.

“Itulah yang membuat semua pekerjaan jadi sepadan,” ujarnya.

Baca Juga: Jual Chelsea Imbas Perang Rusia-Ukraina, Ini Profil Konglomerat Roman Abramovich

Melanie, yang kini berusia 35 tahun, memiliki kekayaan senilai US$6,5 miliar atau sekitar Rp93,2 triliun menurut Forbes. Ia tak pernah menyelesaikan kuliahnya dan berstatus drop out. Terkait kisah percintaannya, pada akhirnya ia menikah dengan Cliff.

Melansir Inc, ia tetap tinggal di Australia meski Canva telah dipakai di seluruh dunia. Markas utama Canva sendiri berada di Sydney. Dia berharap negaranya suatu hari nanti menjadi rumah bagi pemimpin bisnis.

“Saya ingin melihat di tahun-tahun mendatang, Australia menjadi identik dengan para inovator hebat yang bekerja keras memecahkan masalah nyata dunia dengan produk hebat,” ucapnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.