Otonomi Tuhan, Otonomi Manusia: Meniti Jembatan Antara Kedaulatan Ilahi dan Kebebasan Kemanusiaan

BERNAS.ID – Dalam keramaian kehidupan modern, banyak dari kita berjuang dengan konsep otonomi —kedaulatan diri dalam mengambil keputusan dan bertindak. Di satu sisi, kita punya kepercayaan bahwa Tuhan, sebagai Pencipta, memiliki otonomi penuh atas alam semesta, termasuk manusia.
Di sisi lain, kita sebagai manusia merasa perlu memiliki otonomi dalam kehidupan sehari-hari, kebebasan untuk memilih dan bertindak sesuai dengan hati nurani dan rasio. Bagaimana kita memadukan kedua konsep otonomi ini menjadi sebuah pandangan hidup yang harmonis?
1. Otonomi Tuhan: Kedaulatan Ilahi dalam Tata Semesta
Konsep otonomi Tuhan ditemukan dalam banyak tradisi keagamaan. Ini menunjukkan bahwa Tuhan memiliki kekuasaan penuh atas ciptaan-Nya dan menentukan tata cara alam semesta.
Dalam kerangka ilmiah, ini sering kali dilihat sebagai ‘hukum alam’ — ketetapan yang tak tergoyahkan yang mengatur alam semesta.
Namun, melampaui sekadar ‘hukum’, konsep otonomi Tuhan juga mencerminkan kasih dan kebijaksanaan-Nya. Seperti seorang guru yang memberikan petunjuk kepada muridnya, Tuhan memberikan panduan hidup melalui ajaran-ajaran agama, norma moral, dan intuisi spiritual.
2. Otonomi Manusia: Kebebasan dalam Keberpasrahan
Manusia, sebagai makhluk dengan kesadaran dan rasio, dianugerahi kemampuan untuk memilih dan bertindak. Otonomi manusia bukan berarti kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam perspektif sufistik, otonomi ini bisa dilihat sebagai manifestasi dari “kebebasan dalam keberpasrahan”.
Manusia bebas memilih, namun pilihan terbaik adalah yang selaras dengan petunjuk Ilahi.
3. Meniti Jembatan antara Otonomi Tuhan dan Manusia
Di era futuristik, ketika teknologi dan AI semakin mempengaruhi keputusan kita, penting bagi kita untuk mempertimbangkan kembali konsep otonomi.
Apakah kita sebagai manusia benar-benar memiliki otonomi dalam mengambil keputusan ketika algoritma dan data besar semakin mempengaruhi pilihan kita?
Dalam konteks ini, sufisme menawarkan pandangan yang mendalam. Konsep “ma’rifat” atau pengenalan akan Tuhan mengajarkan kita bahwa dengan semakin mengenal Tuhan, kita semakin mengenal diri kita sendiri.
Melalui ma’rifat, kita mampu meniti jembatan antara otonomi Tuhan dan manusia, memahami bahwa keduanya bukanlah konsep yang bertentangan, tetapi saling melengkapi.
Dalam menjalani hidup di dunia yang semakin kompleks, kita perlu menyadari bahwa otonomi manusia dan Tuhan adalah dua sisi mata uang yang sama.
Menghormati otonomi Tuhan berarti mengakui kebesaran-Nya dalam tata semesta, sedangkan menghormati otonomi manusia berarti memberi ruang bagi kebebasan bertindak dengan tanggung jawab.
Dengan pendekatan integratif, ilmiah, dan sufistik, kita dapat menciptakan harmoni antara otonomi Tuhan dan manusia, menuju masa depan yang lebih cerah dan penuh makna.
(Penulis : Dokter Dito Anurogo, M.Sc., kandidat doktor dari IPCTRM Taipei Medical University Taiwan, dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia, penulis puluhan buku, trainer profesional berlisensi BNSP, reviewer profesional di puluhan jurnal Nasional dan Internasional)