Berita Nasional Terpercaya

Kisah Karatyaning Lintang, Berawal dari Pendengar yang Baik hingga Coach untuk Future Leader

0

BERNAS.ID – Menjadi pendengar yang baik adalah sebuah anugrah yang mengantarkan seorang Karatyaning Lintang dalam meniti karier. Dia tidak menyangka jika kemampuannya itu dapat membantu orang lain dalam menemukan diri.

Berawal dari seorang konsultan, dia akhirnya jatuh cinta dengan dunia coaching. Sebagai seorang certified professional coach, perempuan yang akrab disapa Ata ini memfokuskan diri pada generasi muda yang ingin menjadi future leader atau pemimpin masa depan.

Uniknya, Ata justru lulusan Fakultas Pertanian. Meski demikian, impiannya untuk kuliah psikolog tetap tercapai ketika ia memutuskan untuk meneruskan master di Fakultas Psikologi.

Baca Juga: Kisah Issa Kumalasari Membantu Sesama Lewat NLP

Lalu, bagaimana kisah Ata dalam merintis karier? Berikut selengkapnya.

Tempat Curhat 

Ata lahir dan besar di Jakarta. Semenjak SMA dia sudah bercita-cita menjadi psikolog. Semua berawal ketika teman-temannya banyak curhat kepada Ata. Dari situ, dia mendapat pujian sebagai pendengar yang baik.

Meski demikian, ia tidak tahu kenapa teman-temannya bisa berpikiran seperti itu. Apalagi, tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik. Ia juga suka mengamati perilaku orang lain.

“Saya sejak sekolah itu suka memperhatikan perilaku orang. Dulu banyak di sekolah ada anak IPA dan IPA, terus ada teman yang keluar masuk guru BK, terus jadi kayak suka menerawang sendiri, kenapa ya, kok bisa kayak gitu, keluarganya kayak bagaimana,” katanya.

Kepada Bernas.id, Ata mengaku tidak memperoleh informasi yang cukup tentang perkuliahan ketika SMA. Pada saat itu, ia seperti buta tentang penerimaan mahasiswa baru di universitas.

Sampai akhirnya, dia mendaftar di Universitas Diponegoro dengan pilihan beberapa jurusan, yakni psikologi, peternakan, dan sastra. Singkat cerita, ia diterima di jurusan peternakan, Fakultas Pertanian.

“Jadi pilihan kedua itu peternakan karena simpel, saya suka hewan. Memang sesimpel itu, akhirnya saya memilih peternakan,” ujarnya.

Semangat Ata untuk mendalami dunia psikologi tak pernah padam. Dia berburu informasi agar bisa mencapai keinginannya tersebut. Ia pun senang bukan main karena boleh meneruskan S2 di bidang psikologi, meski tidak bisa mendaftar untuk program profesi.

Pada 2012, ia melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Selama menempuh pendidikan magister, ia juga bekerja.

“Kalau profesi kan harus linier, S1-nya harus psikologi juga. Ada alternatif yang kedua psikologi tapi yang sains. Daftar UGM untuk psikologi S2 mengambil major-nya Psychology of Industrial and Organization,” katanya.

Baca Juga: Kisah Rini Haerinnisya, “Dibajak” Berbagai Perusahaan hingga Jadi Professional Life Coach 

Kuliah di dua kota berbeda, yang juga sangat berbeda dengan kota besar seperti Jakarta dan Bekasi, sempat membuat Ata tercengang. Ia melihat ada sebuah budaya yang mengkotak-kotakkan seseorang berdasarkan daerah asal.

Ia mengaku mendapat diskriminasi yang tinggi karena dia berasal dari luar Jawa Tengah. Tapi Ata berusaha untuk belajar supaya bisa menyatu dengan budaya setempat dan menyesuaikan diri dengan aturan dan norma.

“Belajar berbaur, walau ujung-ujungnya sulit. Tapi teman selalu bilang kalau Ata paling nyeleneh,” kelakarnya.

“Saat ke Jogja, aku menemukan fakta menarik, di sana ternyata banyak pendatang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia,” imbuhnya.

Human Development

Ketertarikannya dengan perilaku manusia membuatnya ingin memperdalam lebih jauh tentang manusia itu sendiri. Ata mulai terjun ke dunia sumber daya manusia pada 2012. 

Tugasnya melakukan pelatihan dan pengembangan, melakukan proses rekruitmen karyawan, serta mediator antara perusahaan dan karyawan kontrak. Lalu, sebenarnya apa yang dilihat Ata dalam mencari tenaga kerja yang sesuai dengan kriteria perusahaan?

Menurutnya, yang pertama adalah cara berkomunikasi dan cara merespons percakapan dengan orang lain. Kesan pertama memang belum bisa memberikan penilaian sepenuhnya, tapi setidaknya bisa merasakan “kecocokan”.

First impression itu lebih cenderung bagaimana dia bisa getting along dan berkomunikasi sama orang lain, kooperatif, dan mengikuti alur di awal, Kalau misal nanti mau berkreasi atau berinovasi itu ada tempatnya sendiri,” jelasnya.

Pada 2015, Ata bekerja di sebuah lembaga konsultan SDM. Di sana, dia bertugas untuk merumuskan Learning and Development atau L&D strategy untuk kebutuhan pengembangan pemimpin.

Dia juga melaksanakan sejumlah proyek yang berkaitan dengan Corporate Values Deployment. Pekerjaan di sinilah yang menjadi awal mula Ata jatuh cinta dengan dunia coaching.

Ada sesuatu dalam diri manusia yang ia temukan ketika mempelajari teknik coaching karena benar-benar memanusiakan manusia. 

“Saya memulai profesi seorang coach justru pada saat aku berprofesi sebagai seorang konsultan, yang which is consultant sama coach itu beda banget. Consultant itu determinasinya tinggi, punya segudang rekomendasi untuk klien mereka, sedangkan coach nggak begitu,” jelasnya.

Coach menyerahkan itu semua kepada orang yang di-coaching. Kita memberikan tongkatnya kepada orang yang di-coaching,” ucapnya.

Saatnya Kembali Jadi Manusia

Sebelum menjadi coach seperti sekarang, Ata mengikuti coaching training yang diadakan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Sekitar tiga hari, ia dan beberapa temannya mendapatkan pengenalan metode coaching.

Saat itu, dia masih memegang paradigma coaching sebagai sesuatu yang lebih cenderung mengajari dan memberi tahu seseorang, ya, hampir seperti mentoring. Itu yang dipikirkan Ata.

Baca Juga: Kisah Margareta Astaman, Asa Jadi Penulis hingga Bawa Buah Lokal ke Pasar Global

Tapi kenyataannya justru berbeda. Dia mengaku seorang coach justru tidak diperbolehkan untuk menawarkan saran dan solusi, sebuah hal yang biasa dilakukan oleh seorang konsultan.

“Seorang coach harus memberikan kesempatan, mendengarkan kepada coachee-nya dulu, yang nanti akan mengutarakan solusinya sendiri. Terus tugasnya coach apa? Ya, tugasnya hanya bertanya,” katanya.

Sebagai informasi, coachee merupakan istilah seseorang yang menjadi klien dari seorang coach. Coachee dalam perusahaan biasanya merujuk pada SDM. Awal-awal merintis karier sebagai coach, ia mengaku kesulitan karena harus mengganti kebiasaan lamanya sebagai konsultan masih terbawa. 

Namun, dia merasa metode coaching sangat memanusiakan manusia, yakni melihat manusia tanpa ada label-label, tabir, jabatan, dan persona apapun. Menurutnya, selama ini manusia terlalu banyak mengakomodir pikiran dan perasaan orang lain sehingga lupa menjadi diri sendiri.

“Ini keren banget metodenya. kita kan selama lahir kayak terlalu banyak ya tabir yang menutupi diri kita, karena tuntutan dari lingkungan dan sosial sehingga kita jarang bisa memahami diri kita sendiri,” katanya.

“Di metode coaching itu, kita saatnya kembali menjadi manusia,” imbuhnya.

Tidak terbesit memang jika kelak ia bakal menjadi seorang coach. Menemukan passion menjadi bagian dalam hidup yang membuat manusia mampu terus melangkah. Ata berpendapat passion adalah anugrah dan karunia, tapi bisa juga dibentuk.

Menemukan passion memang butuh upaya lebih besar dibandingkan dengan mereka yang sedari kecil sudah memilikinya. Menurut Ata, passion muncul karena kita dapat melakukannya, atau sesuatu hal yang kita suka tapi tidak mampu melakukan.

“Untuk menimbulkan passion, kita harus mengenal value diri dan prinsip-prinsip hidup sehingga passion lebih bisa mengerucut,” ujarnya.

Baca Juga: Endah Saraswati, Seniman Multitalenta yang Sukses Populerkan Campursari

Manusia tak melulu soal bahagia, kesedihan tak jarang menghampiri dalam hidup. Meski begitu, ia tetap harus coaching meski suasana hati sedang tidak baik. Ia mesti mengelola energi untuk bisa mendengarkan “curhatan” orang lain. Dengan suka dan duka itu, Ata tetap ingin terus melangkah maju.

Coach ini kan ibarat bejana terbuka yang siap menampung, siap menjadi cerminan, menerima curahan hati siapapun. Kalau kita nggak buka bejana dalam diri kita, ya, kita akan struggling,” tuturnya.

Ya, perjalanan Ata masih terus berlanjut. Saat ini, dia sedang mengejar sertifikasi internasional supaya bisa melakukan coaching di berbagai negara di dunia.

Easy Going

Berbagai pengalaman hidup dan karier sudah ia lalui. Ada satu prinsip hidup yang selalu ia gunakan sebagai pedoman, yaitu easy going. Nampak klise, tapi ada makna mendalam di balik dua kata dalam bahasa Inggris tersebut.

Easy going berarti tidak berpikir berlebihan, mampu mengelola stres, dan menerima situasi yang ada sebagai sesuatu yang memang harus dijalani. Setelah menerima, langkah selanjutnya adalah bangkit dari situasi tersebut. Inilah proses easy going versi Ata.

“Kalau ada sesuatu hal yang bikin kita nggak nyaman, ya jadikan itu sebagai sebuah pengingat kita bahwa hidup di dunia itu nggak selamanya harus enak-enak saja, perlu juga ditempa. Aku selalu memegang prinsip keseimbangan itu,” ucapnya.

Sebagai seseorang yang melakukan coaching anak muda untuk menjadi future leader, ia mengaku salut dengan generasi sekarang. Menurutnya, generasi muda masa kini telah memiliki nilai dan prinsip yang kuat. Hal itu tentu sesuatu yang perlu dipertahankan.

Baca Juga: Kisah Irma Sustika, Buktikan Perempuan Indonesia Bisa Berdaya secara Ekonomi

Nilai dalam diri itu penting untuk tetap survive di dunia yang sudah ‘gila’ ini. Ata berpesan kepada anak muda agar terus berupaya menemukan diri, mengenali diri, dan menemukan prinsip hidup.

“Eksekusinya harus fleksibel menyesuaikan dengan banyak perubahan. Perubahan itu bukan karena kita nggak punya prinsip ya,” ujarnya.

Ata sekarang tercatat sebagai Certified Professional Coach di International Coaching Federation (ICF), sekaligus Executive Search Consultant di PT Koneksi Kerja Nusantara.

Leave A Reply

Your email address will not be published.