Berita Nasional Terpercaya

Kisah Dokter Sekaligus Penulis Dito Anurogo, dari Hobi Menulis hingga Melenggang ke Luar Negeri

0

Bernas.id – Dokter sekaligus penulis. Julukan itulah yang pantas disematkan untuk pria bernama lengkap dr Dito Anurogo M.Sc.  Bukan hanya berhasil menamatkan pendidikan dokternya, pria kelahiran Semarang 38 tahun silam ini juga berhasil menulis sekitar 20 buku. Beberapa karyanya juga telah diterbitkan di media  massa lokal dan nasional.

Selain menulis, dr Dito juga sering melakukan penelitian yang ia bagikan ke khalayak umum melalui jurnal ilmiah. Bahkan, baru-baru ini pria asal Semarang tersebut juga berhasil menerbitkan jurnal ilmiah terindeks Scopus Q1, yang merupakan publikasi tertinggi dalam akademis.

Saat ini, dr Dito juga berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri, tepatnya di Taipei Medical University. Lalu bagaimana perjalanan inspiratif pria asal Semarang ini hingga berhasil menjejakan kaki di Taiwan? Berikut kisahnya:

Berawal dari Hobi Membaca

Keputusan dr Dito melanjutkan studi di jurusan pendidikan dokter sebagian besar dipengaruhi oleh hobo membacanya sedari kecil. Melalui wawancara virtual, dr Dito bercerita ke tim Bernas.id bahwa semasa kecil dirinya sangat suka membaca biografi tentang orang-orang sukses, salah satunya Ibnu Sina.

“Dulu waktu kecil saya sering baca biografi tokoh-tokoh bidang kedokteran atau medis, salah satu namanya Ibnu Sina. Bahkan, beberapa sastrawan dunia yang juga berprofesi sebagai penulis. Dari situlah, saya kemudian bertekad untuk mengambil pendidikan dokter,” ungkapnya.

Untuk melanjutkan mimpinya itu, dr Dito pun memutuskan untuk melanjutkan studi jurusan kedokteran medis di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang.

Melanjutkan studi jurusan kedokteran medis tentu menyita banyak waktu dan tenaga. Akan tetapi, Dito tetap mampu menamatkan pendidikannya tepat waktu dan tetap aktif berorganisasi selama kuliah.

“Kuliah di kedokteran itu memang butuh banyak perjuangan dan pengorbanan namun saya tetap menikmati proses. Saat kuliah, saya juga merasakan momen kurang tidur karena harus belajar sampai tengah malam. Yah, istirahat bagi saya itu berorganisasi dan menulis. Kadang hari minggu pun saya harus mengerjakan tugas kuliah atau praktikum,” ungkapnya.

Selama menjalani masa Koas pun, Dito juga hampir tidak pernah menikmati hari libur karena harus berjaga penuh di rumah sakit. Namun berkat manajemen waktu yang baik, ia tetap mampu menyeimbangkan pendidikan dan hobinya.

“Setiap hari, usai bangun tidur, saya selalu membuat to do list  yang isinya tentang apa saja hal yang harus saya kerjakan di hari itu. Saya tulis sampai detail agar tidak yang terlewat. Hal itu pun saya lakukan sampai sekarang,” ungkapnya.

Jika ada hal terlewat, Dito juga selalu melakukan evaluasi diri untuk menemukan apa penyebabnya sehingga hal tersebut tidak terulang kembali di esok harinya. Dengan membuat to do list tersebut, Dito merasa ia punya waktu yang fleksibel untuk me time atau beristirahat.

Baca juga: Perjalanan Profesor Suhono, Guru Besar ITB yang Jadi Sosok di Balik Smart City di Indonesia

Menjejakan Kaki di Taiwan

Setelah menamatkan pendidikan S1, Dito pun kembali melanjutkan studi master pada jurusan Ilmu Biomedis di Universitas Gadjah Mada (UGM). Merasa ilmu yang dimilikinya belum cukup, Dito pun kembali melanjutkan studi S3 jurusan kedokteran regeneratif dengan mendalami disiplin ilmu stem cell, immunotherapy, dan nano technology.

Studi S3 ditempuh dengan beasiswa penuh dari Taipei Medical University, Taiwan. Sebagai informasi, Taipei Medical University merupakan universitas swasta terbaik di Taiwan dan menduduki rangking ke 407 sebagai kampus terbaik dunia versi QS World University Rankings.

“Saya sengaja ingin mendalami kedokteran regeneratif karena hal ini masih jarang di Indonesia. Namun, stem cell saat ini lagi booming karena dipakai dalam pengobatan Covid-19,” ucapnya.

Proses untuk mendapatkan beasiswa kuliah luar negeri ini tentu tidak mudah karena memerlukan persiapan khusus. Hal itu pula yang dilakukan oleh Dito. Jadi sebelum mendaftar beasiswa, Dito berusaha membangun portofolio sebaik mungkin agar pihak recruiter tertarik.

“Beasiswa saya ini langsung dari Taipei Medical University. Jadi sebelum mendaftar beasiswa, saya harus membangun portofolio sebaik mungkin, terutama di bidang publikasi ilmiah lalu melakukan pendekatan dengan profesor yang ada di kampus tujuan,” tambahnya.

Sebelum memilih Taiwan sebagai negara tujuan untuk melanjutkan kuliah, Dito sudah diterima di Harvard. Namun karena pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, Dito tidak bisa berangkat ke Amerika.

“Taiwan kan dalam hal tatanan Covid-19 tergolong baik. Jadi, saya pun memutuskan ke Taiwan saja,” ucapnya.

Menurut Dito, suasana di Taiwan sangat mendukung proses belajarnya. Karena itu, ia merasa tidak ada halangan berarti selama berada di Taiwan.

“Orang Taiwan itu ternyata baik sekali dan profesor serta para dosen di sini juga tak segan memberikan apresiasi. Jadi, kita semangat belajarnya,” ucapnya.

Hobi Menulis yang Membawa Berkah

Dito juga bercerita bahwa hobi menulis telah membawa banyak dampak positif dalam perjalanan karirnya. Ia merasa bahwa menulis dapat membantu mencerahkan peradaban karena setiap kata yang tertulis pasti mampu mengubah atau menggerakan seseorang.

“Secara tak langsung, dokter juga membantu pasien lewat menulis, contohnya saat meresepkan obat. Secara tak langsung, itu kan membantu menyerahkan,” ungkapnya.

Dito juga beranggapan bahwa apa yang kita tulis pasti memiliki dampak luas bagi pembaca. Karena itu, ia bercita-cita menjadi dokter sekaligus penulis yang bisa mencerahkan umat melalui tulisannya.

“Banyak riset membuktikan bahwa menulis juga bisa menjadi terapi yang berdampak positif pada penderita kanker dan depresi. Jadi, beban-beban jiwa yang terpendam bisa dikeluarkan lewat menulis dan itu bisa membantu penyembuhan pasien,” tambahnya.

Untuk mewujudkan impiannya itu, setiap tahun Dito selalu memasang target untuk menulis minimal satu hingga dua buku setiap tahunnya. Berbagi karya dr Dito yang sudah terpampang di toko buku antara lain The Art of Medicine, Cara Jitu Mengatasi Nyeri Haid, dan masih banyak lainnya.

Demi mendatangkan inspirasi dalam menulis, Dito juga selalu meluangkan waktu untuk membaca jurnal atau buku minimal satu jam setiap harinya.

“Menulis dan membaca itu pondasi kemajuan sebuah bangsa. Jadi, dua hal itu benar-benar diperlukan dalam kehidupan ini. Kalau kita lihat sejarah, toko-toko besar dunia juga punya buku yang mampu mengubah dunia lewat literasi. Karena itu, kemampuan literasi alias membaca dan menulis itu sangat penting,” ucapnya.

Baca juga: Pakar Neuro Semantics NLP dari METAMIND Bongkar Cara Temukan Kebahagiaan dalam Hidup

Mendirikan School of  Life Institute

Selain berbagi  lewat menulis, Dito juga mendirikan School of Life Institute untuk berbagai ilmu dan mencerdaskan bangsa. School of Life merupakan sekolah online yang didedikasikan khusus pelajar Indonesia agar bisa belajar dari ilmuwan besar.

“School of life ini terinspirasi oleh Profesor Yohanes Surya yang mendirikan Surya University dan memanggil para ilmuwan besar Indonesia untuk berkarya di sana. Dari situ, saya terinspirasi untuk mendirikan sekolah, yah, kecil-kecilan dulu,” ungkapnya.

Lewat School of life, Dito juga bermaksud mewadahi para pelajar, khususnya di bidang kesehatan khususnya, agar bisa bertemu dan belajar langsung dari ahlinya.

“Kuliah di bidang kesehatan, kan, mahal sekali. Jadi, saya berusaha agar orang-orang yang nggak bisa sekolah bisa mendapatkan akses pendidikan dengan mudah. Yah, minimal mereka bisa tahu ilmu kesehatan lewat platform online,” tambahnya.

Untuk pengembangan School of Life, Dito juga menjalin kerjasama dengan beberapa ilmuwan dan institusi. Ia juga berencana untuk membuat e-course atau elektronik kursus tentang ilmu kesehatan yang diampu oleh dosen profesional.

“Kami sedang menyiapkan platform yang tepat dan School of Life ini nanti akan diresmikan tepat pada tanggal 17 Agustus ini,” tambahnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.