Berita Nasional Terpercaya

Kisah Muslih, Dalami Kesehatan Mental hingga Terbang Ke Taiwan

0

Bernas.id – Beasiswa luar negeri memang menjadi dambaan banyak orang. Karena itu, untuk lolos seleksi beasiswa luar negeri tentu tidak mudah. Ada banyak pesaing yang harus kita hadapi. Setelah lolos seleksi pun, menjalani hari-hari di luar negeri dengan budaya dan bahasa yang berbeda juga tak mudah. 

Apalagi, kewajiban sebagai mahasiswa tentu menuntut waktu yang besar. Kita tidak bisa santai atau menghabiskan waktu dengan jalan-jalan untuk menikmati setiap sudut keindahan negara orang. Sebab, kita punya tanggung jawab besar untuk menyelesaikan studi dengan baik. Hal itu pula yang dirasakan oleh Muhammad Muslih.

Pria yang juga bekerja sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Malang ini adalah orang beruntung yang mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di luar negeri, tepatnya di Taiwan. Tentunya, keberuntungan yang diperolehnya harus ia bayar dengan kerja keras. Lalu bagaimana kisa Muslih hingga berhasil menjejakkan kaki di Taiwan? Berikut kisahnya:

Mendalami Bidang Kesehatan Mental

Sejak lulus SMA, Muslih memang berniat untuk mendalami dunia kesehatan. Niat tulusnya itu pun terjawab dengan lolos seleksi masuk universitas negeri di jurusan keperawatan, tepatnya di Universitas Airlangga pada 2006. Karena ingin melanjutkan apa yang sudah didapatkannya saat berkuliah S1, Muslih pun memutuskan untuk mengambil kuliah magister dan doktoral dengan jurusan linear.

“Dari dulu memang saya ingin fokus di bidang satu. Dan ternyata, rejekinya di keperawatan,” ungkapnya.

Selama menekuni bidang keperawatan, Muslih berfokus pada bidang kesehatan mental. Menurutnya, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Namun, banyak orang yang masih menyepelekannya. Hal inilah yang membuat Muslih tertarik untuk mendalami bidang Mental Health and Psychiatry. 

“Saat di Indonesia, saya juga bekerja sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Malang, tepatnya di departemen kesehatan jiwa. Di situlah, saya juga banyak berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki gangguan jiwa” tambahnya.

Selama menjalani studi di Taiwan, Muslih jua berfokus pada riset tentang kesehatan jiwa. Ini bertujuan untuk menyebarkan pemahaman tentang pentingnya kesehatan jiwa dan menghilangkan stigma negatif mengenai gangguan jiwa.

Untuk lolos beasiswa kuliah luar negeri, Muslih juga harus bekerja keras agar bisa menjadi kandidat unggul. Apalagi, kampus tujuan Muslih untuk melanjutkan studi di luar negeri memiliki track record yang bagus, khususnya untuk jurusan kesehatan.

“Kuliah di Taiwan saya mendapat beasiswa full dari Taipei Medical University (TMU). Say masuk TMU sejak ambil pendidikan S2 di tahun 2017, lalu berlanjut ambil  S3 di tahun 2019,” ujarnya kepada Bernas.id.

Baca juga: Kisah Dokter Sekaligus Penulis Dito Anurogo, dari Hobi Menulis hingga Melenggang ke Luar Negeri

Tips Lolos Beasiswa Luar Negeri

Muslih juga bercerita, untuk lolos beasiswa luar negeri ia harus melewati berbagai tahap seleksi, mulai dari seleksi administrasi hingga wawancara.

“Saat seleksi S2, ada persyaratan administratif dan interview oleh 3 orang langsung dari TMU. Proses ini juga berlaku saat saya daftar S3,” tambahnya.

Karena banyaknya peminat, tentu perlu tips khusus agar bisa lolos seleksi. Menurut Muslih yang perlu dilakukan agar bisa lolos seleksi beasiswa luar negeri adalah menjadi kandidat yang menonjol. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan dan mempelajari terlebih dahulu tentang jurusan yang akan dipilih.

“Setelah mempelajari kampus dan jurusan yang akan dipilih, kita bisa mulai menyusun alasan tentang mengapa kita memilih kampus dan jurusan tersebut. Pastikan alasan kita sangat kuat sehingga recruiter yakin dengan kita,” ungkapnya.

Saat sesi wawancara, Muslih juga menyarankan agar kita bisa memperkenalkan diri secara singkat namun jelas. Kita juga perlu fokus pada apa yang mau di highlight dengan diri kita.

“Setelah sesi perkenalan, kita bisa menjelaskan tentang topik penelitian yang akan dilakukan, lalu jawab pertanyaan pewawancara dengan jelas tanpa bertele-tele,” tambahnya.

Suka duka di negeri orang

Hidup di negara yang berbeda budaya dan bahasa tentu tidak mudah dijalani. Hal itu pula yang dirasakan oleh Muslih. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Taiwan, Muslih juga sempat mengalami culture shock.

“Di Indonesia, kan, mayoritas Muslim. Kita biasa mendengar adzan lima kali sehari. Kalau disini, kita tidak bisa mendengar suara adzan seperti di Indonesia. Meski kuliah memakai Bahasa Inggris, kita tetap harus belajar Mandarin karena itu digunakan sehari-hari,” ucapnya.

Sebagai seorang muslim dari Indonesia, Muslih juga sempat kesulitan mencari makanan halal yang cocok dengan lidahnya. Sebab, ia sudah terbiasa dengan masakan Indonesia yang kaya rasa.

“Cari makanan yang halal itu sangat susah awalnya. Agar aman, kita cari makanan vegetarian. Sayangnya, makanan vegetarian itu benar-benar nggak ada rasa sedangkan kita, orang Indonesia, sudah terbiasa dengan makanan kaya rempah dan rasa,” ungkapnya.

Karena sempat merasa kesulitan mencari makanan yang cocok di lidah Indonesia, Muslih pun terinspirasi untuk membuka usaha kuliner yang ia beri nama Sakinah Home Cooking.

“Awal bikin usaha kuliner itu bukan niat mau bisnis. Saya mau membantu kawan-kawan dari Indonesia di Taiwan yang ingin mencari makanan halal. Bukan bisnis besar ini hanya sekedar membantu teman-teman Indonesia di Taiwan saja,” ucapnya.

Muslih mengelola usaha kulinernya di tengah masa studi dengan membuka sistem pre order. Jadi, dia akan memasak makanan sesuai jumlah pesanan yang ada. 

“Ya, masakan rumahan ala Indonesia. Saya masak sendiri d dikelola sendiri. Sehari itu tidak pasti ada berapa pesanan karena sistemnya pre order. Karena sehari bisa 10 atau 15 porsi,” ucapnya.

Menurut cerita Muslih, ada banyak orang Indonesia di Taiwan  yang memiliki usaha serupa dengannya, bahkan lini bisnisnya pun bisa jauh lebih besar.

“Ya karena keterbatasan waktu, saya hanya berani buka pre order sekali dalam seminggu. Di Taiwan, ada banyak teman-teman Indonesia yang buka usaha serupa dengan jumlah pesanan lebih besar,” tambahnya.

Baca juga: Perjalanan Profesor Suhono, Guru Besar ITB yang Jadi Sosok di Balik Smart City di Indonesia

Mengatur Waktu di Sela Kesibukan

Selama berada di Taiwan, Muslih menjalani peran ganda. Ia tak hanya menjadi seorang mahasiswa saja. Berbagai kegiatan organisasi dan volunteer pun ia lakoni. Bahkan, Muslih masih sempa membuka usaha sekaligus melakoni perannya sebagai seorang ayah.

“Di Taiwan ini, saya membawa istri anak. Anak saya sudah usia 8 bulan sekarang dan istri saya sudah habis jatah cutinya. Jadi, dia mulai ngantor lagi. Yah, akhirnya saya juga menjadi full time father,” tambahnya.

Dengan kesibukan yang tinggi, Muslih juga mengakui bahwa manajemen waktu selama di Taiwan menjadi tantangan tersendiri.

“Mengatur waktu itu juga menjadi tantangan saya masih harus banyak belajar. Karena selain riset dan kewajiban publikasi, saya juga menjadi ketua PPI Taiwan. Karena istri harus kerja, senin sampai jumat saya juga  full time father,” ungkapnya.

Untuk mengatur waktu, Muslih selalu menyiapkan agenda khusus yang setiap hari ia gunakan untuk mencatat kewajiban yang harus dilakukannya. Karena itu, buku agenda tersebut menjadi hal terpenting agar kehidupan studi, organisasi, dan pribadinya berjalan seimbang.

Aktivitas segudang tentu menguras energi mental yang tinggi. Jika kita tidak mampu menjaga kondisi mental sebaik mungkin, tentu kita mudah mengalami burnout. Hal itu pula yang dipercaya oleh Muslih. Untuk menjaga kesehatan mental di tengah padatnya aktivitas, Muslih selalu berusaha untuk memahami kemampuan atau porsi diri.

“Kita harus tahu porsi diri. Artinya, kita harus paham kapan saatnya istirahat kapan saatnya beraktivitas. Kalau saya capek, ya saya istirahat. Jangan sampai kita memforsir fisik tapi lupa dengan kondisi psikologis kita,” tambahnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.