Berita Nasional Terpercaya

Muhammadiyah Sampaikan Selamat Atas Capaian Runner-up Thomas dan Uber Cup 2024

0

YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Tim bulutangkis Indonesia baik Thomas maupun Uber pada Minggu (5/5/2024) baru saja mengalami kekalahan dari Tiongkok. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar mengucapkan selamat kepada Tim Thomas dan Uber yang telah berjuang gigih dan meraih posisi juara kedua.

”Alhamdulillah masih bisa runner-up, meski berharap juara. Semua pemain dan official sudah berusaha, tetapi belum berhasil. Dua tahun ke depan berharap kedua tim juara, tentu dengan persiapan matang dan optimal dari sekarang. Sebab tim negara lain juga akan melakukan persiapan yang sama, mungkin lebih baik dari kita,” ucap Haedar Nashir pada Senin (6/5).

Baca juga: PBSI Yakin Tim Indonesia Raih Prestasi Di Piala Thomas Dan Uber

”Kita pendukung dan penonton hanya bisa memberi semangat dan berkomentar. Merekalah yang berjuang di lapangan. Kita bisa kasih pendapat ini dan itu, selebihnya para pemain dan seluruh tim official yang berjuang meraih keberhasilan atau sebaliknya merasakan pahitnya kegagalan,” imbuh Haedar.

Baca juga: Siap Menghadapi Thomas Dan Uber CUP 2018: Tim Indonesia Bawa Pulang Medali

Haedar berharap tim Indonesia untuk tidak berputus asa dan mengendor semangat untuk bangkit ke depan.
”Kalau boleh berbagi pandangan, mungkin perlu langkah progresif bagi pengurus PBSI dalam pembibitan pemain. Lakukan talent-scouting calon-calon pemain berbakat secara TSM (terstruktur, sistematik, masif) agar lahir pemain-pemain hebat dengan pilihan terbaik,” pesan Haedar.

Haedar juga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki tradisi dan sejarah besar bulutangkis di tingkat dunia.

“Kita pernah 14 kali juara Thomas, terbanyak. Tiongkok baru 11 kali, disusul Malaysia 5 kali. Untuk Uber memang Tiongkok terbanyak 16 kali, Indonesia baru tiga kali juara. Tim bulutangkis Indonesia sangat ditakuti dan disegani lawan,” kata dia.

Ia memaparkan, Indonesia pernah memiliki maestro-maestro pebulutangkis ternama seperti Ferry Sonneville, sang legenda Rudy Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat, Icuk Sugiarto, Alan Budi Kusuma, Taufik Hidayat, dan lain-lain. Untuk putri ada Verawati Fajrin dan Susi Susanti sang legenda. Di ganda putra ada legendaris Tjuntjun/Johan Wahyudi serta Cristian Hadinata/Ade Chandra, disusul Ricky Subagja/Rexy Mainaky serta Marcus Gideon/Kevin Sanjaya. Mereka selain berbakat, juga petarung sejati yang membuat Indonesia jaya.

”Kini generasi Jonatan Christie dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto sedang mengukir prestasi. Tentu tentu berat karena tantangannya juga lebih berat dari negara lain yang makin maju seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Denmark, dan lainnya,” jelas Haedar.

Haedar berpendapat bahwa soal mentalitas petarung yang penting terus ditingkatkan di diri para pemain Indonesia. Di luar aspek skill dan teknis. Bagaimana setiap bertanding sesulit apapun tidak gampang menyerah. Satu angka itu sangat berharga.

Indonesia pernah menyaksikan Rudy Hartono bertarung. Peraih 8 kali juara All England ini tahun 1974 ketika di semifinal melawan Sture Johnson dari Swedia. Di babak pertama kalah 11-15. Di babak kedua tertinggal 0-14 sehingga Johnson tinggal satu angka dia menang.

Tapi Rudy membalikkan keadaan, dia terus tambah angka, sampai akhirnya unggul 17-14. Di babak ketiga dia menghabisi lawan 15-0. Akhirnya dia ke final dan menang lawan pemain tangguh Svend Pri dari Denmark yang keduanya langganan finalis kejuaraan dunia bergensi tersebut.

”Rudy menjadi legenda pebulutangkis Indonesia dan dunia yang belum ada tandingannya. Kekuatan dia selain skill adalah mentalitas pantang menyerah yang luar biasa. Tentu setiap orang berbeda dan tidak dapat disamakan. Tapi mentalitas tangguh dan petarung niscaya ditanamkan dan menjadi modal penting bagi para pemain bulutangkis maupun cabang olahraga lain di Indonesia jika ingin mengukir prestasi cemerlang di pentas dunia,” tegas Haedar.

Terakhir Haedar mengatakan mentalitas tangguh pantang menyerah dibutuhkan dari seluruh anak bangsa jika ingin Indonesia maju dan berjaya di seluruh bidang kehidupan.

“Tradisi besar, menuntut mentalitas superhebat. Sebaliknya, tradisi kecil melahirkan manusia cengeng, bermental benalu, mengandalkan kebesaran dan katrolan orangtua, lembek, menerabas, dan ingin sukses tanpa berkeringat. Generasi muda Indonesia saat ini ke depan jadilah petarung sejati yang gigih, mandiri, dan rendah hati sekaligus mengukir prestasi,” tandas Haedar. (den)

Leave A Reply

Your email address will not be published.