Berita Nasional Terpercaya

Bagian Keenam: Masa Lalu Martini

0

Bernas.id – Sudah sejak lama warga Desa Bangsri hidup dengan memercayai mitos. Banyak cerita-cerita berkembang di desa itu, termasuk kutukan kecantikan Martini, si kembang desa yang masih remaja. Entah siapa orang pertama yang membuat dan menyebarkan kabar burung itu, sampai akhirnya semua warga desa memercayainya. Satu peristiwa yang membuat warga desa yakin bahwa kecantikan Martini membawa malapetaka adalah saat Desa Bangsri dilanda paceklik cukup lama sehingga banyak sawah warga yang gagal panen karenanya. Namun, hanya sawah milik orangtua Martini seorang yang baik-baik saja. Lalu saat ada orang pintar yang turun tangan, keadaan jadi berbanding terbalik.

Meskipun keluarga Martini menjadi serba kekurangan, justru banyak juragan-juragan desa sebelah yang ingin mempersunting Martini. Sebuah keanehan yang tak masuk di akal para warga Desa Bangsri yang terlanjur memercayai mitos kutukan kecantikannya. Lantas, gosip yang beredar selanjutnya adalah Martini Si Penggoda. Namun nyatanya, Martini justru tak tertarik menerima pinangan para juragan itu. Ia justru kepincut pada lamaran seorang pemuda tanggung yang mungkin sama miskin dengannya. Lalu singkat cerita mereka menikah.

Warga Desa Bangsri dibuat kejang-kejang setelah pernikahan Martini dan pemuda itu. Pasalnya dalam waktu singkat, pemuda miskin yang telah menjadi suami Martini itu mendadak kaya setelah ketiban durian runtuh. Semula, pekerjaannya hanyalah tukang bersih-bersih di kebun kopi milik seorang juragan yang terletak di desa sebelah. Meski punya banyak harta, tapi ia sangat kesepian. Lalu, setelah mendengar kabar bahwa Martini dinikahi oleh pembantunya sendiri, juragan itu bunuh diri. Seperti orang kaya pada umumnya, ia juga menulis surat wasiat. Namun, mungkin ia lupa merevisi surat wasiat itu. Karena di dalamnya masih jelas tertulis bahwa suami Martini yang merupakan pembantunya juga mendapat bagian, yakni satu hektar kebun kopi.

Namun, pada akhirnya suami Martini justru menjual kebun kopi itu dan memutuskan untuk pindah ke suatu desa di daerah lain. Ia hanya membawa beberapa butir bibit kopi yang rencananya akan ditanam di pekarangan rumahnya nanti. Suami Martini membuat keputusan itu karena tak habis pikir pada Martini yang betah-betah saja tinggal di Desa Bangsri, sementara cemoohan para warga berdatangan setiap hari.

Tahun-tahun pertama, Martini dan suaminya hidup bahagia tanpa bayang-bayang nyiyiran mulut tetangga. Kebahagiaan keluarga kecil itu semakin lengkap dengan kehadiran putri pertama mereka. Namun, ketika si putri baru belajar berjalan, suami Martini meninggal karena kecelakaan kerja. Bersama kesedihan yang menyelimutinya, Martini menyalahkan dirinya sendiri dan membenarkan perkataan para warga di desanya dulu bahwa ia adalah seorang pembawa sial. Tak berapa lama setelah itu, teman-teman sekerja suami Martini datang untuk melayat. Satu di antara mereka menyerahkan amplop putih berukuran besar. Katanya, amplop itu berisi surat yang sempat ditulis almarhum.  Katanya lagi, suami Martini sudah menulis surat itu agak lama, tapi ia baru menemukan surat itu setelah membersihkan meja kerja suami Martini. Ia juga meminta maaf karena telah membaca surat itu sedikit. Martini memeluk surat itu sambil terisak-isak.

Ternyata, mendiang suami Martini telah membeli sebuah rumah baru di desa lain yang letaknya tak terlalu jauh dari desa mereka. Pada awalnya suami Martini berencana untuk menjadikan rumah tersebut sebagai aset keluarga. Entah akan dibuat kontrakan, atau gudang tempat menyimpan hasil panen. Namun meskipun ia telah merencanakan masa depan yang baik untuk keluarganya, Tuhanlah pembuat rencana terbaik.

Setelah teman suami Martini memberitahukan lokasi tepatnya, Martini melihat-lihat rumah baru itu dan malah ingin tinggal di sana. Saat teman suami Martini bertanya kenapa, jawaban Martini adalah karena rumah yang ia tinggali bersama suaminya itu penuh kenangan mereka berdua. Jadi, ia tak ingin merasakan kesedihan berlarut-larut terhadap kepergian suaminya itu.

?Lalu rumah lamamu mau kau apakan??

?Jual saja, atau buat kamu saja kalau mau.?

Teman suami Martini menuruti perintah Martini untuk menjual rumah lama Martini dan membantunya pindah ke rumah baru.

?Kau yakin akan baik-baik saja??

?Aku bisa menjaga diriku sendiri, juga anakku. Jangan khawatir. Terima kasih.?

Setelah itu, urusan mereka selesai. Teman suami Martini kembali sibuk dengan pekerjaannya, dan makin jarang menjenguk Martini. Martini juga melakukan hal yang sama, menyibukkan diri agar bisa melupakan kesedihan terhadap kepergian almarhum suaminya. Tak lupa, ia membawa bibit kopi yang rencananya akan ia tanam di belakang rumah barunya, dan juga bunga-bunga kopi yang ia bawa dari rumah lamanya. Sehari-hari, Martini meronce bunga-bunga itu menjadi hiasan yang cantik. Ia juga sering mengajak putri kecilnya berbincang-bincang, meski hanya dibalas dengan gumaman-gumaman tak jelas karena anaknya belum bisa bicara meski sudah bisa berjalan.

Lambat laun, Martini juga mulai bergaul dengan warga desa lainnya. Mula-mula para warga menerimanya dengan baik sebagai pendatang baru. Namun entah bagaimana sesuatu di masa lalu kembali terulang.

Kabar burung tentang penyakit yang diderita para warga setelah berinteraksi dengan Martini cepat menyebar hingga sampai juga ke telinga yang bersangkutan. Martini kembali dituduh sebagai pembawa sial di desa tersebut. Semua orang merundungnya, kecuali seorang pemuda anak kepala RT, Lungguh namanya. Martini merasa cemas. Apakah semuanya akan berakhir sama seperti sebelumnya?

Sampai suatu malam selepas Isya', Lungguh datang ketika Martini hampir menyelesaikan roncean bunga kopinya. Saat Martini bertanya kenapa Lungguh bertamu malam-malam, ia mengatakan bahwa nyawa Martini dan anaknya akan terancam kalau mereka tidak segera keluar dari desa itu.

?Para warga mengincar rumah ini. Mereka akan membakarnya.?

Mendengar hal itu, Martini sudah kehabisan air mata untuk menangis. Cobaan apalagi itu? Padahal, baru satu bulan ia kehilangan suaminya, dan memutuskan untuk menjalani hidup baru lagi. Namun dunia sepertinya memang tak berpihak padanya. Martini bertanya pada Lungguh kenapa ia memberitahunya, dan apa yang harus ia lakukan? Tapi Lungguh malah memberinya amplop putih yang katanya berisi surat serta dokumen-dokumen penting.

?Percayalah padaku, aku pasti akan menolongmu. Dan anakmu.? Itu kata-kata terakhirnya sebelum pamit pulang.

Martini membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Ternyata, amlop itu agak tebal karena pemuda itu menyelipkan beberapa lembar uang dengan dalih supaya Martini menggunakannya untuk membelikan susu anaknya. Lungguh juga menuliskan surat dengan tulisan tangan berisi hal yang sama seperti yang ia bicarakan saat menemui Martini. Namun dengan sedikit tambahan, Lungguh menyampaikan lamarannya melalui surat itu. Katanya, itu satu-satunya cara untuk menolong Martini dari amukan para warga.

Martini tak habis pikir pada perilaku pemuda yang baru dikenalnya itu. Sebenarnya, ia bahkan tak punya alasan untuk menerima atau menolak lamaran Lungguh. Namun, ia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Jika tidak segera pergi dari desa itu, maka para warga desa akan terus merundungnya, bahkan mungkin lebih parah dari apa yang dulu telah ia alami di Desa Bangsri. Sedangkan, menikah dengan pemuda yang bahkan tidak ia cintai, itu akan menyakiti perasaannya sendiri.

Sepanjang sisa malam itu, akhirnya Martini tidak tidur karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan masa depan yang akan terjadi di kemudian hari. Namun, penawaran Lungguh memiliki tenggat waktu. Hari Selasa minggu depan, atau tiga hari lagi ia akan menunggu di gapura desa saat malam hari untuk mengajaknya ke suatu tempat yang menurutnya aman. Martini dan anaknya harus pergi dari desa itu sebelum minggu depan, saat semua warga desa berencana untuk membakar rumah Martini.

Pada akhirnya, Martini benar-benar datang ke tempat yang telah Lungguh janjikan. Lalu mereka berdua, bertiga dengan anak Martini meninggalkan desa di malam hari, menuju suatu tempat yang jauh dari desa mereka. Malam-malam mereka tidur meringkuk di bak mobil pikap. Martini memeluk anaknya, dan Lungguh memeluk dirinya sendiri. Menjelang dini hari, mereka baru sampai di tempat tujuan. Lungguh ternyata memiliki teman dekat di desa tujuan mereka. Temannya jualah yang tadi membantu mereka pergi dari desa. Lalu pada sisa hari itu, mereka menginap di rumah teman Lungguh.

Beberapa hari setelahnya, mereka membicarakan tentang rencana pernikahan yang sederhana. Lungguh juga sudah menyiapkan rumah kontrakan untuk nantinya ia tinggali bersama Martini dan anaknya. Kebahagiaan Lungguh nampak dari matanya, Martini bisa melihat itu semua dengan jelas. Padahal jauh dari lubuk hari Martini, ia sebenarnya enggan melakukan semua itu. Namun ia mengalahkan egonya sendiri demi membalas jasa Lungguh. Dan pernikahan mereka pun berlangsung secara sederhana.

Tak sampai hitungan bulan, Martini sudah sering muntah-muntah. Lungguh senang bukan kepalang, karena mengira itu adalah anaknya. Ia bahkan mengambil cuti kerja sehari penuh untuk mengantarkan Martini ke dokter. Saat dokter bertanya pada Martini tentang sudah berapa lama ia telat, Martini menjawab tidak ingat dan berdalih bahwa beberapa bulan belakangan ia terlalu sibuk bersedih atas kematian mendiang suami lamanya sehingga tak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Dokter nampak terkejut mendengar pengakuan Martini. Lantas ia melihat Lungguh yang nampaknya tak sabar mendengar berita bagus.

?Usia kandungan Ibu sudah berjalan tiga bulan lamanya,? kata dokter lalu tertunduk lesu. Keceriaan di wajah mereka, terutama Lungguh perlahan memudar.

Semenjak kejadian itu, hubungan Martini dan Lungguh menjadi canggung. Namun Martini berusaha mencairkan suasana dengan bersikap sebagaimana istri pada umumnya. Tapi hatinya tak bisa berbohong bahwa sebenarnya ia tak menyukai hubungan yang seperti itu.

Selama hampir dua tahun sampai anak keduanya lahir, Martini dan Lungguh menjalani kehidupan rumah tangga mereka dengan seolah baik-baik saja. Namun selama itu pula, Martini lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anaknya daripada bersama Lungguh. Ia juga tertawa lebih tulus pada anak-anaknya daripada kepada Lungguh. Awalnya, Lungguh tak keberatan dengan itu semua, tapi pada suatu titik, ia merasa benar-benar jengah.

?Bagaimana bisa kamu cemburu pada orang yang sudah mati?? teriak Martini pada Lungguh yang marah dan membanting barang-barang.

?Dan bagaimana bisa kau memperlakukanku seperti halnya orang mati?? teriak Lungguh makin tak terkendali. Ia kembali mengungkit-ungkit masa lalu dan mengingatkan Martini pada jasa-jasanya. Namun Martini berdalih bahwa sebenarnya ia memang tidak menginginkan semua itu.

?Jika waktu bisa diputar, mungkin aku akan membekukan waktu di mana aku masih bersama-sama dengan suamiku yang dulu. Ia tidak sama sepertimu!? Martini mengacung-acungkan telunjuknya di depan wajah Lungguh.

?Semua ini gara-gara dia!? Amarah Lungguh memuncak. Ia lantas menuju kamar dan membawa paksa anak kedua Martini yang masih tertidur pulas. Martini berteriak meraung-raung meminta anaknya dikembalikan. Namun tenaganya tak cukup kuat untuk menahan Lungguh pergi.

?Jangan bawa anakku!? Itu kata terakhir yang Martini ucapkan. Sejak hari itu, ia tak tahu lagi kabar Lungguh ataupun anaknya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa anak itu akan hidup dengan baik.

Marta membaca lagi tulisan Ibunya di buku harian kusam itu. Tak terhitung berapa kali pun ia membaca kisah-kisah itu, ia akan tetap menangis setelahnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.