Berita Nasional Terpercaya

Haruskah Ada Mahar Pilkada dari Calon Pemimpin?

0

Bernas.id – Mahar politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) akhir-akhir ini menjadi hal yang banyak diperbincangkan. Sejak pengakuan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, La Nyalla, mengenai mahar pilkada yang diminta partai Gerindra kepadanya untuk dapat mengikuti pilkada Jawa timur. Mahar pilkada sendiri merupakan setoran sejumlah uang demi mendapatkan rekomendasi partai. Tindakan ini merupakan praktik ilegal dan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada pasal 187B yang berbunyi,

?Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)?.

Mahar dalam pilkada adalah hal yang masih dapat diperdebatkan. Dalam proses politik Indonesia yang ?cost politiknya? besar, faktor modal keuangan menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Kebutuhan pilkada yang besar ini meliputi biaya pertemuan, perjalanan, konsumsi, biaya kampanye, relawan dan sebagainya. Hal ini menjadikan permintaan untuk mengeluarkan sejumlah uang (baca: modal) oleh si calon kepala daerah untuk membiayai cost-cost tersebut menjadi hal yang lumrah.

Mahar politik dalam pilkada bisa dihindari jika pemerintah dapat mengalokasikan biaya kampanye dan parpol dalam penyelenggaraan pilkada sehingga tidak ada uang pribadi sendiri yang masuk. Sebab, jika uang pribadi masuk dalam aliran dana pemimpin, bisa berbahaya bagi sistem demokrasi kita. Betapa banyak orang-orang pandai dan berkualitas yang tidak dapat dicalonkan menjadi calon pemimpin daerah hanya karena isi ?kantongnya tipis?. Sedangkan yang punya uang, walaupun ?kurang berkualitas? dapat menjadi ikut pilkada dan berpeluang menjadi pemimpin. Ini merupakan ironi dalam proses politik kebangsaan kita. 

Leave A Reply

Your email address will not be published.